Jumat, 29 Maret 2013

Penyesuaian Diri dan Pertumbuhan Personal (Tulisan Ke III)



PENYESUAIAN DIRI dan PERTUMBUHAN PERSONAL

Seringkali penyesuaian diri dimengerti sebagai misalnya, kemampuan individu untuk menyamakn diri dengan harapan kelompok. Individu yang sehat mestinya mampu memahami harapan kelompok tempat individu yang bersangkutan menjadi anggotanya dan melakukan tindakan yang sesuai dengan harapan tersebut.

Penyesuaian diri juga bisa dipahami sebagai mengatur kembali ritme atau hidup atau jadwal harian. Orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah orang yang dengan cepat mampu mengelola dirinya menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi. Misalnya dia bisa belajar lebih giat, menyediakan waktu lebih banyak untuk belajar daripada kegiatan lain karena menjelang ujian. Atau dia bisa mematuhi nasehat dokter untuk mengatur pola dan jenis makanannya karena menderita diabetes.

Penyesuaian diri juga sering dipahami sebagai belajar hidup dengan sesuatu yang tidak dapat diubah. Orang memiliki penyesuaian diri yang baik bila bisa menerima keterbatasan yang tidak dapat diubah. Misalnya, dia mampu menerima cacat fisik yang dialami sehabis kecelakaan sehingga bisa kembali melakukan aktifitas seperti sebelum kecelakaan tersebut terjadi.

Dalam bahasa inggris, istilah penyesuaian diri memiliki dua kata yang berbeda maknanya, yaitu adaptasi (adaptation) dan penyesuaian (adjusment). Kedua istilah tersebut sama-sama mengacu pada pengertian mengenai penyesuaian diri, tetapi memiliki perbedaan makna yang mendasar. 

Adaptasi memiliki pengertian individu melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan. Pengertian ini lebih menekankan pada perubahan yang individu lakukan terhadap dirinya agar tetap bisa sesuai dengan lingkungannya. Jadi pada adaptasi, diri individulah yang berubah untuk melakukan penyesuaian. Contohnya, bila menghadapi suhu yang panas, lalu individu membuka pakaianya, atau minum air agar tetap merasa nyaman. (Siswanto. 2007. Kesehatan Mental. Yogyakarta: Penerbit ANDI. 33-34)

Sebagaimana dikemukakan oleh Lazarus (1961), adjustment involves sa reaction of the person to demand imposed upon him. Maka, penyesuaian diri termasuk reaksi seseorang karena adanya tuntutan yang dibebankan pada dirinya. Demikian pula pendapat Thorndike dan Hogen yang disitir oleh Mustafa Fahmi (1977) sebagai berikut: penyesuaian diri merupakan kemampuan individu untuk mendapatkan ketentraman secara internal dan hubungannya sengan dunia sekitarnya. Uraian tersebut, bila tidak ada reaksi terasa ada beban dan tidak mendapatkan ketentraman batin. Maka dapat disimpulkan: penyesuaian diri adalah kemampuan individu untuk berekasi karena tuntutan dalam memenuhi dorongan/kebutuhan dan mencapai ketentraman batin dalam hubungannya dengan sekitar. (Sundari, Siti. 2005. Kesehatan Mental dalam Kehidupan. Jakarta: Penerbit PT Rineka Cipta)

Pertumbuhan adalah suatu proses individual dan umum. Kita sebagai manusia akan selalu mengalami dua aspek pertumbuhan pribadi. Pada satu pihak, kita mempunyai irama serta bobot pertumbuhan pribadi yang bersifat individual. Irama serta bobot pertumbuhan ini mungkin cepat mungkin lambat, mungkin sehat dan berlangsung baik dari tahap yang satu ke tahap yang berikut, mungkin sangat menggembirakan dan menghasilkan suatu pribadi manusia normal. Namun ada juga orang lain yang irama serta bobot pertumbuhannya kurang baik, kurang sehat, sehingga pribadi yang dihasilkan pun tidak normal.

Hakikat irama dan bobot pertumbuhan ini mungkin sekali ditentukan oleh generasi yang dimiliki seseorang sejak lahir. Kalau memang demikian, maka kita sebagai yang lebih dewasa tak akan bisa mengerti potensi masing-masing individu itu. Oleh karena itu tidak ada alasan sama sekali bagi kita untuk tidak melakukan asuhan dan pendidikan terhadap setiap individu anak.(Wahono, S. Wismohadi. 2009. Di sini Kutemukan. Jakarta: PT GBK Gunung Mulia) 




 

Teori Kepribadian Sehat (Tulisan ke II)



Teori Kepribadian Sehat



Dalam mempelajari kesehatan metal tak lepas dari pengetahuan kepribadian. Kepribadian adalah alih bahasa dari personality, berasalah dari kata persona, artinya topeng atau kedok. Alat ini biasanya dipakai pemain sandiwara, disesuaikan peran yang dimainkan. Istilah personality sering disamakan dengan character atau watak maupun tipe. Allport berpendapat (Dalam buku Sumadi Suryabrata 1982): Character is personality evaluated and personality is character devaluated. Ia menganggap watak dan kepribadian adalah satu dan sama, tetapi dipandang dari segi yang berlainan. Bila akan mengadakan penilaian dengan menggunakan norma, tepat dipakai istilah watak. Kalau menggambarkan apa adanya lebih tepat menggunakan istilah kepribadian.

Aliran Psikoanalisa (Mahzab 1)
 Sejak pertengahan abad 19, objek psikologi adalah kesadaran orang normal, dewasa dan beradab. Anggapan Freud dalam Sumadi Suryabrata (1982), kesadaran itu hanya sebagian kecil dari kehidupan psikis. Freud mengumpamakan psyche/psikis sebagai gunug es yang berada di lautan. Puncak gunug yang menjulang di atas air laut hanya sebagian kecil saja, sedangkan yang berada di dalam lautan sangat besar. Hal ini menggambarkan alam tidak sadar lebih besar atau luas dibandingkan dengan alam sadar. Dalam alam tidak sadar terdapat kekuatan-kekuatan dasar yang mendorong pribadi. Freud mempunyai perhatian khusus terhadap neurologi, mengadakan spesialis dalam perawatan orang yang menderita gangguan syaraf menggunakan metode hipnotis, tetapi kurang puas. Selanjutnya menggunakan metode mengajak pasien berbicara (wawancara) dan berhasil. (Sundari, Siti. 2005. Kesehatan Mental dalam Kehidupan. Jakarta: Penerbit PT Rineka Cipta.18) 

Menurut pendapatnya struktur kepribadian terdiri atas beberapa aspek yaitu :
1. Das Es atau The id, merupakan aspek biologis
2. Das Ich atau the ego, sebagai aspek psikologis
3. Das Uber ich atau the super ego sebagai aspek sosiologis
Ketiganya menpunyai sifat, fungsi, komponen, prinsip kerja, dinamika sendiri-sendiri, namun tiga hal mempunyai hubungan yang erat. Ketiganya tak mungkin dipisahkan pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia. Jadi tingkah laku selalu sebagai hasil kerjasama tiga aspek tersebut. (Sundari, Siti. 2005. Kesehatan Mental dalam Kehidupan. Jakarta: Penerbit PT Rineka Cipta.19-18)  

Aliran Behaviorisme (Mahzab II)
Aliran ini bercorak lebih mekanistik dan kuantitatif, juga relatif memiliki cara pandang yang sama terhadap sehat dan sakit. Behaviorisme melihat individu yang sehat bila masih bisa menjalankan fungsi sehari-hari dengan baik atau dengan kata lain, kalau perilakunya masih sesuai dengan realita. Adapun individu dikatakan abnormal bisa perilakunya tidak lagi sesuai dengan stimulus yang dihadapi, yang muncul dalam bentuk tidak adaptif. Cara pandang ini lama-lama menimbulkan persoalan. Orang mulai menyadari bahwa cara pandang tersebut tampaknya tidak lagi mencukupi untuk memahami hakekat kesehatan mental. (Siswanto. 2007. Kesehatan Mental. Yogyakarta: Penerbit ANDI. 150)

Aliran Humanistik (Mahzab III)  
Seiring dengan peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan di Barat, kemudian diikuti dengan munculnya mahzab III yaitu aliran humanistik, timbul kesadaran bahwa pengertian berdasarkan cara pandang tradisional tersebut memiliki keterbatasan. Fenomena-fenomena yang terjadi dalam perilaku individu memberikan gambaran yang semakin jelas dan tajam mengenai keterbatasan cara pandang tradisional tersebut.  (Siswanto. 2007. Kesehatan Mental. Yogyakarta: Penerbit ANDI. 150)