KONSEP SEHAT
Kesehatan mental menurut UU No.3/1961
adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual,
emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras
dengan keadaan orang lain. Sehat sebagai suatu spectrum, Pepkins mendefinisikan
sehat sebagai keadaan keseimbangan yang dinamis dari badan dan fungsi-fungsinya
sebagai hasil penyesuaian yang dinamis terhadap kekuatan-kekuatan yang
cenderung menggangunya. Badan seseorang bekerja secara aktif untuk
mempertahankan diri agar tetap sehat sehingga kesehatan selalu harus
dipertahankan.
Kesehatan, di sisi lain adalah sesuatu hal yang disadari oleh manusia ketika hilang kesehatan tersebut, dikurangi atau telah menjadi masalah yang lebih umumnya. Pekerjaan profesional dalam sistem kesehatan jauh lebih terfokus pada penyakit dan resiko kesehatan dari pada mempertahankan dan mempromosikan kesehatan itu pada diri sendiri. (Journal of Health Psychology, 2003)
Memahami konsep kesehatan tidak pernah
dapat dilepaskan dari pengaruh sejarah dan kemajuan kebudayaan. Sepanjang
sejarah makna sehat dan sakit ternyata dipengaruhi oleh peradaban. Selain itu
treatmen yang dilakukan juga disesuaikan dengan pemahaman terhadap kesehatan
tersebut.
Budaya Barat dan Timur ternyata memiliki perbedaan yang mendasar mengenai konsep sehat-sakit. Perbedaan ini kemudian memengaruhi sistem pengobatan di kedua kebudayaan. Akibatnya, pandangan mengenai kesehatan mental juga berbeda. Namun dengan kemajuan teknologi dan komunikasi yang membuat relasi antar manusia semakin mengglobal, pertemuan antara kedua budaya ini tidak lagi dapat dihindari sehingga sekarang ini ditemui berbagai cara penanganan kesehatan yang mencoba mengintegrasikan sistem pengobatan antara kedua kebudayaan. (Siswanto. 2007. Kesehatan Mental. Yogyakarta: Penerbit ANDI. 13-14)
Konsep kesehatan mental berhubungan erat dengan efisiensi menta, dan kadang-kadang kedua konsep tersebut disamakan. Sudah pasti kesehatan dalam bentuk apa pun merupakan dasar untuk efisiensi, dan Jones melihat efisiensi sebagai salah satu di antara ketiha segi kesehatan mental dan normalitas (kedua segi yang lain adalah kebahagiaan dan adaptasi terhadap kenyataan). Tetapi konsep efisiensi mempunyai arti sendiri, yakni pengunaan kapasitas-kapasitas untuk mencapai hasil sebaik mungkin dalam keadaan yang ada pada waktu itu. (Semiun, Yustinus OFM. 2006. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 48-49)
Ada hubungan yang jelas antara konsep penyesuaian diri dan kesehatan mental, tetapi hubungan tersebut tidak mudah ditetapkan. Pasti kesehatan mental merupakan kondisi yang sangat dibutuhkan untuk penyesuaian diri yang baik, dan demikian pula sebaliknya. Apabila seseorang bermental sehat, maka sedikit kemungkinan ia akan mengalami ketidakmampuan menyesuaikan diri yang berat. Kita dapt berkata bahwa kesehatan mental adalah kunci untuk penyesuaian diri yang sehat (Scott, 1961)
Sejaran kesehatan mencatat ternyata konsep sehat tidak jelas, lebih banyak ditemui konsep tentang sakit. Ini membuat pemahaman tentang sehat dan kesehatan juga mengalami kekacauan. Batasan tentang kesehatan yang tidak jelas mengakibatkan manusia tidak memiliki pegangan yang baku untuk mencapai derajat kesehatan yang harus dicapai.
Ada perbedaan antara model kesehatan Barat dengan model kesehatan Timur. Barat memandang kesehatan bersifat dualistik melihat tubuh manusia sebagai mesin dan dipengaruhi oleh dominasi media. Sementara Timur lebih bersifat hilistik, melihat kesehatan secara menyeluruh, saling mengait sehingga memengaruhi cara-cara penanganan terhadap penyakit.
Meskipun konsep sehat mental tidak lah jelas dan masik mengalami perkembangan, tapi ada beberapa ciri tingkah laku sehat menjadi ciri standar untuk menunjukkan sehat tidaknya individu melalui berbagai pendekatan dalam Kesehatan Mental. (Siswanto. 2007. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Penerbit ANDI. 31)
SEJARAH
KESEHATAN MENTAL
Sejarah kesehatan mental
tidaklah sejelas sejarah ilmu kedokteran. Ini terutama karena masalah mental
bukan merupakan masalah fisik yang dengan dapat dengan mudah diamati dan terlihat. Orang dengan
gangguan kesehatan mental sering kali tidak terdeteksi, sekalipun oleh anggota
keluarganya sendiri. Hal ini lebih karena sehari-hari hidup bersama sehingga
tingkah laku yang mengindikasikan gangguan mental. Dianggap hal yang biasa,
bukan sebagai gangguan. (Siswanto. 2007. Kesehatan Mental 1. Yogyakart:
Penerbit ANDI. 1)
Penyakit mental sama usianya dengan manusia. Meskipun secara mental belum maju, nenek moyang homo sapiens mengalami gangguan-gangguan mental seperti halnya dengan homo sapiens sendiri. Mereka dan keturunan mereka sangat takut akan predator. Mereka menderita berbagai kecelakaan dan demam yang merusak mental mereka, dan mereka juga merusak mental orang-orang lain dalam perkelahian-perkelahian. Sejak itu manusia dengan rasa putus asa selalu berusaha menjelaskan penyakit mental, mengatasinya dan memulihkan kesehatan mental. Mula-mula penjelasanya sederhana, ia menghubungkan kekalutan-kekalutan mental dengan gejala-gejala alam, pengaruh buruk orang lain, atau roh-roh jahat.(Semiun, Yustinus OFM. 2006. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 66)
Khusus untuk masyarakat Indonesia, masalah kesehatan mental saat ini belum begitu mendapat perhatian yang serius. Krisis yang saat ini melanda membuat perhatian terhadap kesehatan mental kurang terpikirkan. Orang masih fokus pada masalah kuratif, kurang memperhatikan hal-hal preventif untuk menjaga mental supaya tetap sehat. Tingkat pendidikan yang beragam dan terbatasnya pengetahuan mengenai perilaku manusia turut membawa kurangnya kepekaan masyarakat terhadap anggotanya yang mestinya mendapatkan pertolongan di bidang kesehatan mental. Faktor budaya sering membuat masyarakat memiliki pandangan yang beragam mengenai penderita gangguan mental. (Siswanto. 2007. Kesejatan Menatl 1. Yogyakarta: Penerbit ANDA. 1-2)
Ada beberapa pandangan masyarakat terhadap gangguan mental di dunia Barat, antara lain adalah akibat kekuatan supranatural, dirasuk oleh roh/setan, dianggap kriminal karena memiliki derajat kebintangan yang besar, dianggap memiliki cara berpikir irasional, dianggap sakit, merupakan reaksi terhadap tekanan/stres, merupakan perilaku maladaptif, melarikan diri dari tanggung jawab. (Siswanto. 2007. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Penerbit ANDA. 11)
PENDEKATAN
KESEHATAN MENTAL
Kesehatan mental menurut UU No.3/1961
adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual,
emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras
dengan keadaan orang lain. Sehat sebagai suatu spectrum, Pepkins mendefinisikan
sehat sebagai keadaan keseimbangan yang dinamis dari badan dan fungsi-fungsinya
sebagai hasil penyesuaian yang dinamis terhadap kekuatan-kekuatan yang
cenderung menggangunya. Badan seseorang bekerja secara aktif untuk
mempertahankan diri agar tetap sehat sehingga kesehatan selalu harus
dipertahankan.
Kesehatan, di sisi lain adalah sesuatu hal yang disadari oleh manusia ketika hilang kesehatan tersebut, dikurangi atau telah menjadi masalah yang lebih umumnya. Pekerjaan profesional dalam sistem kesehatan jauh lebih terfokus pada penyakit dan resiko kesehatan dari pada mempertahankan dan mempromosikan kesehatan itu pada diri sendiri. (Journal of Health Psychology, 2003)
Memahami konsep kesehatan tidak pernah
dapat dilepaskan dari pengaruh sejarah dan kemajuan kebudayaan. Sepanjang
sejarah makna sehat dan sakit ternyata dipengaruhi oleh peradaban. Selain itu
treatmen yang dilakukan juga disesuaikan dengan pemahaman terhadap kesehatan
tersebut.
Budaya Barat dan Timur ternyata memiliki perbedaan yang mendasar mengenai konsep sehat-sakit. Perbedaan ini kemudian memengaruhi sistem pengobatan di kedua kebudayaan. Akibatnya, pandangan mengenai kesehatan mental juga berbeda. Namun dengan kemajuan teknologi dan komunikasi yang membuat relasi antar manusia semakin mengglobal, pertemuan antara kedua budaya ini tidak lagi dapat dihindari sehingga sekarang ini ditemui berbagai cara penanganan kesehatan yang mencoba mengintegrasikan sistem pengobatan antara kedua kebudayaan. (Siswanto. 2007. Kesehatan Mental. Yogyakarta: Penerbit ANDI. 13-14)
Konsep kesehatan mental berhubungan erat dengan efisiensi menta, dan kadang-kadang kedua konsep tersebut disamakan. Sudah pasti kesehatan dalam bentuk apa pun merupakan dasar untuk efisiensi, dan Jones melihat efisiensi sebagai salah satu di antara ketiha segi kesehatan mental dan normalitas (kedua segi yang lain adalah kebahagiaan dan adaptasi terhadap kenyataan). Tetapi konsep efisiensi mempunyai arti sendiri, yakni pengunaan kapasitas-kapasitas untuk mencapai hasil sebaik mungkin dalam keadaan yang ada pada waktu itu. (Semiun, Yustinus OFM. 2006. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 48-49)
Ada hubungan yang jelas antara konsep penyesuaian diri dan kesehatan mental, tetapi hubungan tersebut tidak mudah ditetapkan. Pasti kesehatan mental merupakan kondisi yang sangat dibutuhkan untuk penyesuaian diri yang baik, dan demikian pula sebaliknya. Apabila seseorang bermental sehat, maka sedikit kemungkinan ia akan mengalami ketidakmampuan menyesuaikan diri yang berat. Kita dapt berkata bahwa kesehatan mental adalah kunci untuk penyesuaian diri yang sehat (Scott, 1961)
Sejaran kesehatan mencatat ternyata konsep sehat tidak jelas, lebih banyak ditemui konsep tentang sakit. Ini membuat pemahaman tentang sehat dan kesehatan juga mengalami kekacauan. Batasan tentang kesehatan yang tidak jelas mengakibatkan manusia tidak memiliki pegangan yang baku untuk mencapai derajat kesehatan yang harus dicapai.
Ada perbedaan antara model kesehatan Barat dengan model kesehatan Timur. Barat memandang kesehatan bersifat dualistik melihat tubuh manusia sebagai mesin dan dipengaruhi oleh dominasi media. Sementara Timur lebih bersifat hilistik, melihat kesehatan secara menyeluruh, saling mengait sehingga memengaruhi cara-cara penanganan terhadap penyakit.
Meskipun konsep sehat mental tidak lah jelas dan masik mengalami perkembangan, tapi ada beberapa ciri tingkah laku sehat menjadi ciri standar untuk menunjukkan sehat tidaknya individu melalui berbagai pendekatan dalam Kesehatan Mental. (Siswanto. 2007. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Penerbit ANDI. 31)
SEJARAH
KESEHATAN MENTAL
Sejarah kesehatan mental
tidaklah sejelas sejarah ilmu kedokteran. Ini terutama karena masalah mental
bukan merupakan masalah fisik yang dengan dapat dengan mudah diamati dan terlihat. Orang dengan
gangguan kesehatan mental sering kali tidak terdeteksi, sekalipun oleh anggota
keluarganya sendiri. Hal ini lebih karena sehari-hari hidup bersama sehingga
tingkah laku yang mengindikasikan gangguan mental. Dianggap hal yang biasa,
bukan sebagai gangguan. (Siswanto. 2007. Kesehatan Mental 1. Yogyakart:
Penerbit ANDI. 1)
Penyakit mental sama usianya dengan manusia. Meskipun secara mental belum maju, nenek moyang homo sapiens mengalami gangguan-gangguan mental seperti halnya dengan homo sapiens sendiri. Mereka dan keturunan mereka sangat takut akan predator. Mereka menderita berbagai kecelakaan dan demam yang merusak mental mereka, dan mereka juga merusak mental orang-orang lain dalam perkelahian-perkelahian. Sejak itu manusia dengan rasa putus asa selalu berusaha menjelaskan penyakit mental, mengatasinya dan memulihkan kesehatan mental. Mula-mula penjelasanya sederhana, ia menghubungkan kekalutan-kekalutan mental dengan gejala-gejala alam, pengaruh buruk orang lain, atau roh-roh jahat.(Semiun, Yustinus OFM. 2006. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 66)
Khusus untuk masyarakat Indonesia, masalah kesehatan mental saat ini belum begitu mendapat perhatian yang serius. Krisis yang saat ini melanda membuat perhatian terhadap kesehatan mental kurang terpikirkan. Orang masih fokus pada masalah kuratif, kurang memperhatikan hal-hal preventif untuk menjaga mental supaya tetap sehat. Tingkat pendidikan yang beragam dan terbatasnya pengetahuan mengenai perilaku manusia turut membawa kurangnya kepekaan masyarakat terhadap anggotanya yang mestinya mendapatkan pertolongan di bidang kesehatan mental. Faktor budaya sering membuat masyarakat memiliki pandangan yang beragam mengenai penderita gangguan mental. (Siswanto. 2007. Kesejatan Menatl 1. Yogyakarta: Penerbit ANDA. 1-2)
Ada beberapa pandangan masyarakat terhadap gangguan mental di dunia Barat, antara lain adalah akibat kekuatan supranatural, dirasuk oleh roh/setan, dianggap kriminal karena memiliki derajat kebintangan yang besar, dianggap memiliki cara berpikir irasional, dianggap sakit, merupakan reaksi terhadap tekanan/stres, merupakan perilaku maladaptif, melarikan diri dari tanggung jawab. (Siswanto. 2007. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Penerbit ANDA. 11)
PENDEKATAN
KESEHATAN MENTAL
Orientasi Klasik
Pada umumnya digunakan dalam kedokteran termasuk psikiatri mengartikan sehat sebagai kondisi tanpa keluhan, baik fisik maupun mental. Orang yang sehat adalah orang yang tidak mempunyai keluhan tentang keadaan fisik dan mentalnya. Sehat fisik artinya tidak ada keluhan fisik. Sedangkan sehat mental artinya tidak ada keluhan mental. Dalam ranah psikologi, pengertian sehat seperti ini banyak menimbulkan masalah ketika kita berurusan dengan orang-orang yang mengalami gangguan jiwa yang gejalanya aalah kehilangan kontak dengan realitas. Orang-orang seperti itu tidak ada keluhan dengan dirinya meski hilang kesadaran dan tak mampu emngurus dirinya sendiri secara layak. Pengertian sehat mental dari orientasi klasik kurang memadai untuk digunakan dalam konteks psikologi. Mengatasi kekurangan itu dikembangkan pengertian baru dari kata "sehat". Sehat atau tidak adanya seseorang secara mental, belakangan ini lebih ditentukan oleh kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Orang yang memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan dapat digolongkan sehat mental. Sebaliknya orang yang tidak dapat menyesuaikan diri digolongkan sebagai tidak sehat mental.
Orientasi Penyesuaian Diri
Dengan menggunakan orientasi penyesuaian diri, pengertian sehat mental tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan tempat individu hidup. Oleh karena itu kaitannya dengan standar norma lingkungan terutama norma sosial dan budaya, kita tidak dapat menentukkan sehat atau tidaknya mental seseorang dari kondisi kejiwaannya semata. Ukuran sehat mental didasarkan juga pada hubungan antara individu dengan lingkungannya. Seseorang yang dalam masyarakat tertentu digolongkan tidak sehat atau sakit mental bisa jadi dianggap senagat sehat mental dalam masyarakat lain. Artinya batasan sehat atau sehat mental bukan sesuatu yang absolut. Berkaitan dengan relativitas batasan sehat mental, ada gejala lain yang juga perlu dipertimbangkan. Kita sering melihat seseorang yang menampilkan perilaku diterima oleh lingkungan pada satu waktu dan menampilkan perilaku yang bertentangan dengan norma lingkungan di waktu lain. Misalnya melakukan agresi yang berakibat kerugian fisik pada orang lain pada saat suasana hatinya tidak enak tetapi sangat dermawan pada saat suasana hatinya sedang enak. Dapat dikatakan bahwa orang itu sehat mental pada waktu tertentu dan tidak sehat mental pada waktu lain. Lalu secara keseluruhan bagaimana kita menilainya? sehatkah mentalnya? atau sakit? orang itu tidak dapat dinilai sebagai ssehat mental dan tidak sehat mental sekaligus.
Orientasi Pengembangan Potensi
Seseorang dikatakan mencapai taraf kesehatan jiwa, bila ia mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensialitasnya menuju kedewasaan, ia bisa dihargai oleh orang lain dan sirinya sendiri. Dalam psiko-terapi (Perawatan Jiwa) ternyata yang menjadi pengendalian utama dalam setiap tindakan dan perbuatan seseorang bukanlah akal pikiran semata-mata, akan tetapi yang lebih penting dan kadang-kadang sangat menentukkan adalah perasaan. Telah terbukti bahwa tidak selamanya perasaan tunduk kepada pikiran, bahkan sering terjadi sebaliknya, pikiran tunduk kepada perasaan. Dapat dikatakan bahwa keharmonisan antara pikiran dan perasaanlah yang membuat tindakan seseorang tampak matang dan wajar.
Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan Hygiene mental atau kesehatan mental adalah mencegah timbulnya gangguan mental dan gangguan emosi, mengurangi atau menyembuhkan penyakit jiwa serta memajukkan jiwa. Menjaga hubungan sosial akan dapat mewujudkan tercapainya tujuan masyarakat membawa kepada tercapainya tujuan-tujuan perseorangan sekaligus. Kita tidak dapat menganggap bahwa kesehatan mental hanya sekedar usaha untuk mencapai kebahagiaan masyarakat, karena kebahagiaan masyarakat itu tidak akan menimbulkan kebahagiaan dan kemampuan individu secara otomatis, kecuali jika kita masukkan dalam pertimbangkan kita, kurang bahagia dan kurang menyentuh aspek individu, dengan sendirinya akan mengurangi kebahagiaan dan kemampuan sosial. (http://unpredictablepeople.wordress.com/2011/03/24/pendekatan-kesehatan-mental/. Diunduh pada tanggal 28/03/13)
Orientasi Penyesuaian Diri
Dengan menggunakan orientasi penyesuaian diri, pengertian sehat mental tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan tempat individu hidup. Oleh karena itu kaitannya dengan standar norma lingkungan terutama norma sosial dan budaya, kita tidak dapat menentukkan sehat atau tidaknya mental seseorang dari kondisi kejiwaannya semata. Ukuran sehat mental didasarkan juga pada hubungan antara individu dengan lingkungannya. Seseorang yang dalam masyarakat tertentu digolongkan tidak sehat atau sakit mental bisa jadi dianggap senagat sehat mental dalam masyarakat lain. Artinya batasan sehat atau sehat mental bukan sesuatu yang absolut. Berkaitan dengan relativitas batasan sehat mental, ada gejala lain yang juga perlu dipertimbangkan. Kita sering melihat seseorang yang menampilkan perilaku diterima oleh lingkungan pada satu waktu dan menampilkan perilaku yang bertentangan dengan norma lingkungan di waktu lain. Misalnya melakukan agresi yang berakibat kerugian fisik pada orang lain pada saat suasana hatinya tidak enak tetapi sangat dermawan pada saat suasana hatinya sedang enak. Dapat dikatakan bahwa orang itu sehat mental pada waktu tertentu dan tidak sehat mental pada waktu lain. Lalu secara keseluruhan bagaimana kita menilainya? sehatkah mentalnya? atau sakit? orang itu tidak dapat dinilai sebagai ssehat mental dan tidak sehat mental sekaligus.
Orientasi Pengembangan Potensi
Seseorang dikatakan mencapai taraf kesehatan jiwa, bila ia mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensialitasnya menuju kedewasaan, ia bisa dihargai oleh orang lain dan sirinya sendiri. Dalam psiko-terapi (Perawatan Jiwa) ternyata yang menjadi pengendalian utama dalam setiap tindakan dan perbuatan seseorang bukanlah akal pikiran semata-mata, akan tetapi yang lebih penting dan kadang-kadang sangat menentukkan adalah perasaan. Telah terbukti bahwa tidak selamanya perasaan tunduk kepada pikiran, bahkan sering terjadi sebaliknya, pikiran tunduk kepada perasaan. Dapat dikatakan bahwa keharmonisan antara pikiran dan perasaanlah yang membuat tindakan seseorang tampak matang dan wajar.
Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan Hygiene mental atau kesehatan mental adalah mencegah timbulnya gangguan mental dan gangguan emosi, mengurangi atau menyembuhkan penyakit jiwa serta memajukkan jiwa. Menjaga hubungan sosial akan dapat mewujudkan tercapainya tujuan masyarakat membawa kepada tercapainya tujuan-tujuan perseorangan sekaligus. Kita tidak dapat menganggap bahwa kesehatan mental hanya sekedar usaha untuk mencapai kebahagiaan masyarakat, karena kebahagiaan masyarakat itu tidak akan menimbulkan kebahagiaan dan kemampuan individu secara otomatis, kecuali jika kita masukkan dalam pertimbangkan kita, kurang bahagia dan kurang menyentuh aspek individu, dengan sendirinya akan mengurangi kebahagiaan dan kemampuan sosial. (http://unpredictablepeople.wordress.com/2011/03/24/pendekatan-kesehatan-mental/. Diunduh pada tanggal 28/03/13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar