Selasa, 31 Desember 2013

Tugas Psi. Manajemen

Ketika saya sukses, cara saya memanage diri saya adalah

Ketika saya sukses, saya akan terus menekuni bidang yang saya minati seperti dulu sebelum sukses saya menekuninya. Saya tidak akan pernah melepaskan apa yang menjadi hal-hal kecil sampai besar yang saya tekuni sehingga menjadi sukses sekarang. Karena kesuksesan itu berawal dari ketekunan dan kesabaran. Saya menjunjung tinggi apa yang disebut dengan menuai hasil dari perbuatan sebelumnya. Jika saya mengerjakan sesuatu dengan baik dan ikhlas maka saya akan menuai hasil yang baik, sedangkan jika saya bermalas-malasan dan tidak berpikiran maju maka saya akan menuai hasil yang biasa saja. Ketika saya sukses saya akan terus menggali san menggali bidang yang saya tekuni sehingga saya bisa tetap menjadi kebanggaan orang tua, teman-teman dan bahkan negara. Terimakasih..

Tugas Psikologi Manajemen

MEMPENGARUHI PERILAKU


a) Definisi Perilaku

Dampak sangat berhubungan erat dengan pengaruh. Bahkan tidak sedikit dari kita yang menganggap bahwa antara dampak dan pengaruh adalah sama. Sampai akhirnya beberapa ahli menguraikan keduanya berdasarkan pendapat apakah dampak dan pengaruh merupakan dua konsep yang berbeda atau salah satu diantaranya merupakan konsep pokok dan yang lainnyamerupakan bentuk khususnya.

Berikutnya ini adalah definisi pengaruh menurut para ahli :

 1) Wiryanto : pengaruh merupakan tokoh formal maupun informal maupun informal di dalam masyarakat, mempunyai ciri lebih kosmopolitan, inovatif, kompeten, dan aksesibel dibanding pihak yang dipengaruhi

 2) Uwe Becker : pengaruh adalah kemampuan yang terus berkembang dengan kekuasaan tidak begitu terkait dengan usaha memperjuangkan dan memaksakan kepentingan

 3) Albert R. Roberts & Gilbert : pengaruh adalah wajah kekuasaan yang diperoleh oleh orang ketika mereka tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan

 4) M. Suyanto (Amikom Yogyakarta): Pengaruh merupakan nilai kualitas suatu iklan melalui media tertentu

b) Kunci-kunci Perubahan Perilaku

Keadaan yang buruk atau rusak merupakan persoalan yang sangat mempengaruhi masyarakat dalam segala aspek kehidupan sekaligus mengganggu segala bentuk aktivitas yang ada di masyarakat dalam segala bentuk aktivitas yang ada di masyarakat. Kemiskinan merupakan kondisi buruk dan satu-satunya persoalan yang sistematik. Karena, kemiskinan menjadikan munculnya perilaku kriminal yang tentu saja buruk. Sehingga perlu ada solusi sebagai bentuk perubahan masyarakat dari kondisi miskin yang tidak berdaya, menjadi berdaya. Dalam hal ini mereka akan memiliki potensi kritis dan gerak yang dapat mengulangi segala bentuk persoalan kemiskinan    

c) Model mempengaruhi perilaku dan perannya dalam psikologi


Cara mempengaruhi orang lain dengan dikemukakan oleh Aristotle yang menyatakan terdapat 3 pendekatan dasar dalam komunikasi yang mampu mempengaruhi orang lain, yaitu;
1. Logical argument (logos), yaitu penyampaian ajakan menggunakan argumentasi data-data yang ditemukan. Hal ini telah disinggung dalam komponen data.
2. Psychological/ emotional argument (pathos), yaitu penyampaian ajakan menggunakan efek emosi positif maupun negatif. Misalnya, iklan yang menyenangkan, lucu dan membuat kita berempati termasuk menggunakan pendekatan psychological argument dengan efek emosi yang positif. Sedangkan iklan yang menjemukan, memuakkan bahkan membuat kita marah termasuk pendekatan psychological argument dengan efek emosi negatif.
3. Argument based on credibility (ethos), yaitu ajakan atau arahan yang dituruti oleh komunikate/ audience karena komunikator mempunyai kredibilitas sebagai pakar dalam bidangnya. Contoh, kita menuruti nasehat medis dari dokter, kita mematuhi ajakan dari seorang pemuka agama, kita menelan mentah-mentah begitu saja kuliah dari dosen. Hal ini semata-mata karena kita mempercayai kepakaran seseorang dalam bidangnya.
 
 
 
KEKUASAAN
 
a. Definisi Kekuasaan
 
Kekuasaan adalah kemampuan untuk bertindak atau memerintah sehingga dapat menyebabkan orang lain bertindak meliputi kemampuannya dalam memahami situasi serta keterampilan dalam menentukan macam kekuasaan yang tepat untuk merespon tuntutan situasi.
Agar kekuasaan berjalan dengan sukses bergantung pada:
- Kekuasaan yang sah,
- Mekanisme system informasi,
- Partisipasi aktif dari bawahan.


 b. Sumber-sumber kekuasaan menurut French dan Raven

Psikolog sosial Michigan, French dan Raven menggunakan definisi yang sama dalam membahas teori lapangannya Lewin mengenai kekuasaan. Menurutnya kekuasaan “adalah kemampuan potensial dari seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi yang lainnya didalam system yang ada”, (dalam Roderick Martin: 71). Tetapi penghalusan terhadap konsep Weber yang kini tampaknya paling menonjol disodorkan oleh Dahrendorf dan Blau. Merekalah yang berhasil menembus kelemahan tertentu yang ada pada teori-teori Weber, sebagaimana yang tampak umumnya pada pengembangan pendekatan Weber.
Setelah secara blak-blakan mendukung definisi Weber, kemudian Dahrendorf mengemukakan bahwa “kekuasaan adalah milik kelompok, milik individu-individu daripada milik struktur sosial”, (dalam Roderick Martin: 71). Perbedaan yang penting adalah kekuasaan dengan otoritas terletak pada kenyataan bahwa kalau kekuasaan pada hakekatnya diletakan pada kepribadian individu, maka otoritas selalu dikaitkan dengan posisi atau peranan sosial-kekuasaan, selalu merupakan suatu hubungan yang faktual, sedangkan otoritas merupakan suatu hubungan yang logis.

Perumusan yang menghilangkan wujud hubungan kekuasaan yang tidak terstruktur atau yang terjadi secara berulang-ulang ini merupakan sumber utama yang memunculkan konflik sosial.

French dan Raven mendefinisikan kekuasaan berdasarkan pada pengaruh; dan pengaruh berdasarkan pada pengubahan psikologis. Pengaruh adalah pengendalian yang dilakukan oleh seseorang dalam organisasi maupun dalam masyarakat terhadap orang lain. Konsep penting atas  dasar gagasan ini adalah bahwa kekuasaan merupakan pengaruh laten (terpendam), sedangkan pengaruh merupakan kekuasaan dalam kenyataan yang direalisasikan. French dan Raven mengidentifikasikan lima sumber basis kekuasaan.

1.    KEKUASAAN BALAS JASA (REWARD POWER)
2.    KEKUASAAN PAKSAAN (COERCIVE POWER)
3.    KEKUASAAN SAH (LEGITIMATE POWER)
4.    KEKUASAAN AHLI (EXPERT POWER)
5.    KEKUASAAN PANUTAN (REFERENT POWER)


TEORI-TEORI LEADERSHIP

a. Definisi Leadership

1. George R. Terry (yang dikutip dari Sutarto, 1998 : 17)
Kepemimpinan adalah hubungan yang ada dalam diri seseorang atau pemimpin, mempengaruhi orang lain untuk bekerja secara sadar dalam hubungan tugas untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

2. Ordway Tead (1929)
Kepemimpinan sebagai perpaduan perangai yang memungkinkan seseorang mampu mendorong pihak lain menyelesaikan tugasnya.

3. Rauch & Behling (1984)
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktifitas-aktifitas sebuah kelompok yang diorganisasi ke arah pencapaian tujuan.

b. Teori-teori kepemimpinan partisipatif

  1. Teori  X dan Y dari Douglas Mx Gregar :  Konsep teori X dan Y dikemukakan oleh Douglas McGregor dalam buku The Human Side Enterprise di mana para manajer / pemimpin organisasi perusahaan memiliki dua jenis pandangan terhadap para pegawai / karyawan yaitu teori x atau teori y. A. Teori X
    Teori ini menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk pemalas yang tidak suka bekerja serta senang menghindar dari pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pekerja memiliki ambisi yang kecil untuk mencapai tujuan perusahaan namun menginginkan balas jasa serta jaminan hidup yang tinggi. Dalam bekerja para pekerja harus terus diawasi, diancam serta diarahkan agar dapat bekerja sesuai dengan yang diinginkan perusahaan.
    B. Teori Y
    Teori ini memiliki anggapan bahwa kerja adalah kodrat manusia seperti halnya kegiatan sehari-hari lainnya. Pekerja tidak perlu terlalu diawasi dan diancam secara ketat karena mereka memiliki pengendalian serta pengerahan diri untuk bekerja sesuai tujuan perusahaan. Pekerja memiliki kemampuan kreativitas, imajinasi, kepandaian serta memahami tanggung jawab dan prestasi atas pencapaian tujuan kerja. Pekerja juga tidak harus mengerahkan segala potensi diri yang dimiliki dalam bekerja.
    Ini adalah salah satu teori kepemimpinan yang masih banyak penganutnya. Menurut McGregor, organisasi tradisional dengan ciri-cirinya yang sentralisasi dalam pengambilan keputusan, terumuskan dalam dua model yang dia namakan Theori X dan Teori.Y.
    Teori X menyatakan bahwa sebagian besar orang-orang ini lebih suka diperintah, dan tidak tertarik akan rasa tanggung jawab serta menginginkan keamanan atas segalanya. Lebih lanjut menurut asumís teori X dari McGregor ini bahwa orang-orang ini pada hakekatnya adalah :
    1. Tidak menyukai bekerja
    2. Tidak menyukai kemauan dan ambisi untuk bertanggung jawab, dan lebih menyukai diarahkan atau diperintah
    3. Mempunyai kemampuan yang kecil untuk berkreasi mengatasi masalah-masalah organisasi.
    4. Hanya membutuhkan motivasi fisiologis dan keamanan saja.
    5. Harus diawasi secara ketat dan sering dipaksa untuk mncapai tujuan organisasi..
    Untuk menyadari kelemahan dari asumí teori X itu maka McGregor memberikan alternatif teori lain yang dinamakan teori Y. asumís teori Y ini menyatakan bahwa orang-orang pada hakekatnya tidak malas dan dapat dipercaya, tidak seperti yang diduga oleh teori X. Secara keseluruhan asumís teori Y mengenai manusia adalah sbb :
    1. Pekerjaan itu pada hakekatnya seperti bermain dapat memberikan kepuasan lepada orang. Keduanya bekerja dan bermain merupakan aktiva-aktiva fisik dan mental. Sehingga di antara keduanya tidak ada perbedaan, jika keadaan sama-sama menyenangkan.
    2. Manusia dapat mengawasi diri sendiri, dan hal itu tidak bisa dihindari dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi.
    3. Kemampuan untuk berkreativitas di dalam memecahkan persoalan-persoalan organisasi secara luas didistribusikan kepada seluruh karyawan.
    4. Motivasi tidak saja berlaku pada kebutuhan-kebutuhan sosial, penghargaan dan aktualisasi diri tetapi juga pada tingkat kebutuhan-kebutuhan fisiologi dan keamanan.
    5. Orang-orang dapat mengendalikan diri dan kreatif dalam bekerja jika dimotivasi secara tepat.
    Dengan memahami asumsi dasar teori Y ini, McGregor menyatakan selanjutnya bahwa merupakan tugas yang penting bagi menajemen untuk melepaskan tali pengendali dengan memberikan desempatan mengembangkan potensi yang ada pada masing-masing individu. Motivasi yang sesuai bagi orang-orang untuk mencapai tujuannya sendiri sebaik mungkin, dengan memberikan pengarahan usaha-usaha mereka untuk mencapai tujuan organisasi.
  2. Teori sistem 4 dari Rensis Likert :
    Likert menemukan bahwa leader yang produktif menerangkan dengan jelas tujuan kepada pengikutnya, kebutuhan apa saja yang perlu dicapai dan memberikan mereka kebebasan untuk melakukan pekerjaannya. Para leader tersebut lebih memperhatikan pekerjanya daripada pekerjaannya (employee-centered dan job-centered). Pada studinya, Likert menemukan bahwa kegagalan gaya manajemen sebuah organisasi dapat berkesinambungan antara sistem 1 hingga sistem 4, yaitu: Asumsi dasar

    Bila seseorang memperhatikan dan memelihara pekerjanya dengan baik maka operasional organisasi akan membaik. Fungsi-fungsi manajemen berlangsung dalam empat sistem: 

    1) Sistem pertama: sistem yang penuh tekanan dan otoriter dimana segala sesuatu diperintahkan dengan tangan besi dan tidak memerlukan umpan balik. Atasan tidak memiliki kepercayaan terhadap bawahan dan bawahan tidak memiliki kewenangan untuk mendiskusikan pekerjaannya dengan atasan. Akibat dari konsep ini adalah ketakutan, ancaman dan hukuman jika tidak selesai. Proses komunikasi lebih banyak dari atas kebawah. 
    2) Sistem kedua: sistem yang lebih lunak dan otoriter dimana manajer lebih sensitif terhadap kebutuhan karyawan. Manajemen organisasi berkenan untuk percaya pada bawahan dalam hubungan atasan dan bawahan, keputusan ada diatas namun ada kesempatan bagi bawahan untuk turut memberikan masukan atas keputusan itu. 
    3) Sistem ketiga: sistem konsultatif dimana pimpinan mencari masukan dari karyawan. Disini karyawan bebas berhubungan dan berdiskusi dengan atasan dan interaksi antara pimpinan dan karyawan nyata. Keputusan di tangan atasan, namun karyawan memiliki andil dalam keputusan tersebut.
    4) Sistem keempat: sistem partisipan dimana pekerja berpartisipasi aktif dalam membuat keputusan. Disini manajemen percaya sepenuhnya pada bawahan dan mereka dapat membuat keputusan. Alur informasi keatas, kebawah, dan menyilang. Komunikasi kebawah pada umumnya diterima, jika tidak dapat dipastikan dan diperbolehkan ada diskusi antara karyawan dan manajer. Interaksi dalam sistem terbangun, komunikasi keatas umumnya akurat dan manajer menanggapi umpan balik dengan tulus. Motivasi kerja dikembangkan dengan partisipasi yang kuat dalam pengambilan keputusan, penetapan goal setting (tujuan) dan penilaian.
Pada periode studi Likert, sepertinya tipe leader yang demokratis adalah yang paling ideal, tetapi, berdasarkan definisi proses leadership adalah fungsi dari leader, pengikut dan variabel situasional, tidak mungkin mengimplementasikan salah satu tipe leadership saja pada semua situasi


    3. Theori of Leadership Pattern Choice dari Tamnenbaum dan Schmidt :
Bagaimana bisa seorang manajer mengatakan gaya manajemen apa yang digunakan? Pada tahun 1957, Robert Tannenbaum dan Warren Schmidt menulis salah satu artikel yang paling revolusioner yang pernah muncul dalam The Harvard Business Review. Artikel ini, berjudul “Bagaimana Memilih sebuah Pola Kepemimpinan, adalah signifikan dalam bahwa itu menunjukkan gaya kepemimpinan adalah pilihan manajer. Di bagian atas diagram di bawah ini anda akan melihat akrab “Hubungan Oriented” dan “Tugas Berorientasi” kontinum, yang juga diberi label “Demokrasi” dan “otoriter.”
Diagram menunjukkan dimensi lain: “Sumber Otoritas”. Pada akhir demokratis diagram, manajer memungkinkan kebebasan karyawan. Pada akhir otoriter diagram kita melihat bahwa manajer adalah satu-satunya sumber otoritas. Kita pergi dari otoritas buruh untuk otoritas manajer.
berkaitan dengan masalah gaya kepemimpinan dan dengan pertanyaan seperti manajer dapat demokratis terhadap bawahan, namun mempertahankan otoritas yang diperlukan dan kontrol. untuk tujuan analisis mereka telah menghasilkan sebuah kontinum perilaku kepemimpinan mulai dari autoritarian styeles di satu ekstrem ke gaya demokratis di sisi lain, yang mereka sebut bos s-berpusat dan berpusat pada bawahan tidak seperti orang lain model kepemimpinan berusaha untuk menyediakan kerangka kerja untuk analisis dan pilihan individu.para penulis mengusulkan tiga faktor utama yang menjadi pilihan tergantung pola kepemimpinan:1. kekuatan di manajer (egattitudes, kepercayaan, nilai-nilai)2. kekuatan di bawahan (egtheir sikap, kepercayaan, nilai dan harapan dari pemimpin)3. kekuatan dalam situasi (egpreasure dan kendala yang dihasilkan oleh tugas-tugas, iklim organisasi dan lain-lain faktor extrancous).
Tujuh “pola kepemimpinan” yang diidentifikasi oleh Tannenbaum dan Schmidt. Pola kepemimpinan ditandai dengan angka-angka di bagian bawah diagram ini mirip dengan gaya kepemimpinan, tetapi definisi dari masing-masing terkait dengan proses pengambilan keputusan.
Demokrasi (hubungan berorientasi) pola kepemimpinan yang ditandai oleh penggunaan wewenang oleh bawahan.Otoriter (tugas berorientasi) pola kepemimpinan yang ditandai oleh penggunaan wewenang oleh pemimpin.Perhatikan bahwa sebagai penggunaan kekuasaan oleh bawahan meningkat (gaya demokratis) penggunaan wewenang oleh pemimpin berkurang secara proporsional.
  1. Kepemimpinan Pola 1: “Pemimpin izin bawahan berfungsi dalam batas-batas yang ditentukan oleh superior.”
    Contoh: Pemimpin memungkinkan anggota tim untuk memutuskan kapan dan seberapa sering untuk bertemu.
  2. Kepemimpinan Pola 2: “Pemimpin mendefinisikan batas-batas, dan meminta kelompok untuk membuat keputusan.”
    Contoh: Pemimpin mengatakan bahwa anggota tim harus memenuhi setidaknya sekali seminggu, tetapi tim bisa memutuskan mana hari adalah yang terbaik
  3. Kepemimpinan Pola 3: “Pemimpin menyajikan masalah, mendapat kelompok menunjukkan, maka pemimpin membuat keputusan.”
    Contoh: Pemimpin meminta tim untuk menyarankan hari-hari baik untuk bertemu, maka pemimpin memutuskan hari apa tim akan bertemu.
  4. Kepemimpinan Pola 4: “Pemimpin tentatif menyajikan keputusan untuk kelompok. Keputusan dapat berubah oleh kelompok.”
    Contoh: Pemimpin kelompok bertanya apakah hari Rabu akan menjadi hari yang baik untuk bertemu. Tim menyarankan hari-hari lain yang mungkin lebih baik.
  5. Kepemimpinan Pola 5: “Pemimpin menyajikan ide-ide dan mengundang pertanyaan.”
    Contoh: Pemimpin tim mengatakan bahwa ia sedang mempertimbangkan membuat hari Rabu untuk pertemuan tim. Pemimpin kemudian meminta kelompok jika mereka memiliki pertanyaan.
  6. Kepemimpinan Pola 6: “Para pemimpin membuat keputusan kemudian meyakinkan kelompok bahwa keputusan yang benar.”
    Contoh: Pemimpin mengatakan kepada anggota tim bahwa mereka akan bertemu pada hari Rabu. Pemimpin kemudian meyakinkan anggota tim bahwa Rabu adalah hari-hari terbaik untuk bertemu.
  7. Kepemimpinan Pola 7: “Para pemimpin membuat keputusan dan mengumumkan ke grup.”
    Contoh: Pemimpin memutuskan bahwa tim akan bertemu pada hari Rabu apakah mereka suka atau tidak, dan mengatakan bahwa berita itu kepada tim
c. Modern Choice Approach to Participation


KEPEMIMPINAN MODERN CHOICE APPROACH TO PARTICIPATION (VROOM &  YETTON)

Beberapa orang dalam hidupnya mengenal banyak orang, tetapi hanya sedikit teman sejati. Teman sejati akan didapat dengan ketulusan hati, kepribadian serta rasa tanggung jawab bukan dari kesempatan, nasib baik ataupun dari potensi duniawi. Seorang  berkepribadian ekstrover mungkin mempunyai peluang untuk mengenal banyak orang karena mereka lebih berorientasi ke dunia luar.
Dalam suatu pekerjaan terutama yang menuntut team work/ kelompok kerja didalamnya harus saling sejalan, sependapat atau mungkin juga satu karakter yang sama, walaupun dengan banyak ide yang berbeda tetapi tetap satu. Disini pemimpin dalam team work itu harus cerdas dan cermat, dalam pengambilan keputusan, membuat suasana salalu hidup dan bervariatif agar bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Team work ini bisa kita temukan dalam pekerjaan seperti, entertainment, peneliti, konsultan / pengacara, dan yang lainnya.
 
Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987).

d. Contingency theory of Leadership dari Feidler
 
Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).

Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok: supportive leadership(menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat), directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan).
 
e. Path Goal Theory 
 
menurutPath-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.
 
Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena efek positif yang mereka berikan terhadap motivasi para pengikur, kinerja dan kepuasan. Teori ini dianggap sebagai path-goal karena terfokus pada bagaimana pemimpim mempengaruhi persepsi dari pengikutnya tentang tujuan pekerjaan, tujuan pengembangan diri, dan jalur yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan (Ivancevich, dkk, 2007:205).

Dasar dari path goal adalah teori motivasi ekspektansi. Teori awal dari path goal menyatakan bahwa pemimpin efektif adalah pemimpin yang bagus dalam memberikan imbalan pada bawahan dan membuat imbalan tersebut dalam satu kesatuan (contingent) dengan pencapaian bawahan terhadap tujuan sepsifik.
Perkembangan awal teori path goal menyebutkan empat gaya perilaku spesifik dari seorang pemimpin meliputi direktif, suportif, partisipatif, dan berorientasi pencapaian dan tiga sikap bawahan meliputi kepuasan kerja, penerimaan terhadap pimpinan, dan harapan mengenai hubungan antara usaha –kinerja-imbalan.
Model kepemimpinan jalur tujuan (path goal) menyatakan pentingnya pengaruh pemimpin terhadap persepsi bawahan mengenai tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalur pencapaian tujuan. Dasar dari model ini adalah teori motivasi eksperimental. Model kepemimpinan ini dipopulerkan oleh Robert House yang berusaha memprediksi ke-efektifan kepemimpinan dalam berbagai situasi.
 
MOTIVASI
 
a. Pengertian Motivasi 
Pengertian Motivasi Menurut Para Ahli – Motivasi berasal dari kata “motif” yang diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan  sesuatu. Menurut Sardiman 2006:73) motif merupakan daya penggerak dari dalam untuk melakukan kegaiatan untuk mencapai tujuan.
Motivasi adalah perubahan energi dalam diri (pribadi) seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan (Hamalik, 1992:173). Dalam Sardiman (2006:73) motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorangyang ditandai dengan munculnya “felling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.
b. Teori Drive Reinforcement dan implikasi praktisnya
Teori ini didasarkan atas hubungan sebab dan akibat dari perilaku dengan pemberian konpensasi. Misalnya promosi seorang karyawan itu tergantung dari prestasi yang selalu dapat dipertahankan. Sifat ketergantungan tersebut bertautan dengan hubungan antara perilaku dan kejadian yang mengikuti perilaku tersebut. Teori pengukuhan ini terdiri dari dua jenis, yaitu:
a.    Pengukuhan Positif (Positive Reinforcement), yaitu bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi jika pengukuh positif diterapkan secara bersyarat.
          b.    Pengukuhan Negatif (Negative Reinforcement), yaitu bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi  jika pengukuhan negatif dihilangkan secara bersyarat.
 c. Teori Harapan dan implikasi praktisnya

Nadler dan Lawler (1976) atas teori harapan menyarankan beberapa cara tertentu yang memungkinkan manejer dan organisasi menangani urusan mereka untuk memperoleh motivasi maksimal dari pegawai:
a.    Pastikan jenis hasil atau ganjaran yang mempunyai nilai bagi pegawai
b.    Definisikan secara cermat, dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dan diukur, apa yang dinginkan dari pegawai
c.    Pastikan bahwa hasil tersebut dapat dicapai oleh pegawai
d.   Kaitkan hasil yang dinginkan dengan tingkat kinerja yang di inginkan
e.    Pastikan bahwa ganjaran cukup besar untuk memotivasi perilaku yang penting
f.     Orang berkinerja tinggi harus menerima lebih banyak ganjaran yang diinginkan daripada orang yang berkinerja rendah.
 
Teori harapan ini didasarkan atas:
a.    Harapan (Expectancy), adalah suatu kesempatan yang diberikan akan terjadi karena perilaku.
b.    Nilai (Valence) adalah akibat dari perilaku tertentu mempunyai nilai/martabat tertentu (daya/nilai motivasi) bagi setiap individu yang bersangkutan.
c.    Pertautan (Instrumentality) adalah persepsi dari individu bahwa hasil tingkat pertama akan dihubungkan dengan hasil tingkat kedua.
 
Contoh Kasus: Seorang karyawan pada bagian/divisi penjualan berupaya meraih target penjualan tertentu untuk mendapatkan bonus berupa liburan ke luar negeri. Dalam teori harapan, karyawan tersebut berusaha mendapatkan kesempatan untuk memenuhi target karena ingin pergi ke luar negeri.
d. Teori Tujuan dan implikasi praktisnya
 Teori ini menyatakan bahwa mencapai tujuan adalah sebuah motivator. Hampir setiap orang menyukai kepuasan kerja karena mencapai sebuah tujuan spesifik. Saat seseorang menentukan tujuan yang jelas, kinerja biasanya meningkat sebab:
a.    Dia akan berorientasi pada hal hal yang diperlukan
b.    Dia akan berusaha keras mencapai tujuan tersebut
c.    Tugas tugas sebisa mungkin akan diselesaikan
d.   Semua jalan untuk mencapai tujuan pasti ditempuh
 
Teori ini mengatakan bahwa kita akan bergerak jika kita memiliki tujuan yang jelas dan pasti. Dari teori ini muncul bahwa seseorang akan memiliki motivasi yang tinggi jika dia memiliki tujuan yang jelas. Sehingga muncullah apa yang disebut dengan Goal Setting (penetapan tujuan).
e. Teori Hierarki Kebutuhan Maslow
a.    Kebutuhan Fisiologis
Ini adalah kebutuhan biologis. Mereka terdiri dari kebutuhan oksigen, makanan, air, dan suhu tubuh relatif konstan. Mereka adalah kebutuhan kuat karena jika seseorang tidak diberi semua kebutuhan, fisiologis yang akan datang pertama dalam pencarian seseorang untuk kepuasan.
b.    Kebutuhan Keamanan
Ketika semua kebutuhan fisiologis puas dan tidak mengendalikan pikiran lagi dan perilaku, kebutuhan keamanan dapat menjadi aktif. Orang dewasa memiliki sedikit kesadaran keamanan mereka kebutuhan kecuali pada saat darurat atau periode disorganisasi dalam struktur sosial (seperti kerusuhan luas). Anak-anak sering menampilkan tanda-tanda rasa tidak aman dan perlu aman.
c.    Kebutuhan Cinta
Sayang dan kepemilikan, ketika kebutuhan untuk keselamatan dan kesejahteraan fisiologis puas, kelas berikutnya kebutuhan untuk cinta, sayang dan kepemilikan dapat muncul. Maslow menyatakan bahwa orang mencari untuk mengatasi perasaan kesepian dan keterasingan. Ini melibatkan kedua dan menerima cinta, kasih sayang dan memberikan rasa memiliki.
d.   Kebutuhan Esteem
Ketika tiga kelas pertama kebutuhan dipenuhi, kebutuhan untuk harga bisa menjadi dominan. Ini melibatkan kebutuhan baik harga diri dan untuk seseorang mendapat penghargaan dari orang lain. Manusia memiliki kebutuhan untuk tegas, berdasarkan, tingkat tinggi stabil diri, dan rasa hormat dari orang lain. Ketika kebutuhan ini terpenuhi, orang merasa percaya diri dan berharga sebagai orang di dunia. Ketika kebutuhan frustrasi, orang merasa rendah, lemah, tak berdaya dan tidak berharga.
e.    Kebutuhan Aktualisasi Diri
Ketika semua kebutuhan di atas terpenuhi, maka dan hanya maka adalah kebutuhan untuk aktualisasi diri diaktifkan. Maslow menggambarkan aktualisasi diri sebagai orang perlu untuk menjadi dan melakukan apa yang orang itu “lahir untuk dilakukan.” “Seorang musisi harus bermusik, seniman harus melukis, dan penyair harus menulis.” Kebutuhan ini membuat diri mereka merasa dalam tanda-tanda kegelisahan. Orang itu merasa di tepi, tegang, kurang sesuatu, singkatnya, gelisah. Jika seseorang lapar, tidak aman, tidak dicintai atau diterima, atau kurang harga diri, sangat mudah untuk mengetahui apa orang itu gelisah tentang. Hal ini tidak selalu jelas apa yang seseorang ingin ketika ada kebutuhan untuk aktualisasi diri.
 
Teori hierarki kebutuhan sering digambarkan sebagai piramida,  lebih besar tingkat bawah mewakili kebutuhan yang lebih rendah, dan titik atas mewakili kebutuhan aktualisasi diri.

f. Kebutuhan yang Relevan dengan perilaku dalam organisasi
Kebutuhan merupakan fundamen yang mendasari perilaku pegawai. Karena tidak mungkin memahami perilaku tanpa mengerti kebutuhannya.
Abraham Maslow (Mangkunegara, 2005) mengemukakan bahwa hierarki kebutuhan manusia adalah sebagai berikut :
1.    Kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan untuk makan, minum, perlindungan fisik, bernapas, seksual. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan tingkat terendah atau disebut pula sebagai kebutuhan yang paling dasar
2.    Kebutuhan rasa aman, yaitu kebutuhan akan perlindungan diri dari ancaman, bahaya, pertentangan, dan lingkungan hidup
3.    Kebutuhan untuk rasa memiliki (sosial), yaitu kebutuhan untuk diterima oleh kelompok, berafiliasi, berinteraksi, dan kebutuhan untuk mencintai serta dicintai
4.    Kebutuhan akan harga diri, yaitu kebutuhan untuk dihormati dan dihargai oleh orang lain

5.    Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, yaitu kebutuhan untuk menggunakan kemampuan, skill dan potensi. Kebutuhan untuk berpendapat dengan mengemukakan ide-ide, gagasan dan kritik terhadap sesuatu
 
Daftar Pustaka:
Leavitt, J.H., 1992 Psikologi Manajemen, Alih Bahasa Zarkasi, M., Jakarta: Penerbit Erlangga 
P.Siagian, Sondang, Prof. Dr. MPA.(1988). Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta : Rineka Citra.
Irianto, Anton. (2005). Born to win. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
http://wayannirwansetiabudi.wordpress.com/2013/11/09/hubungan-antara-kekuasaan-dan-pengaruhnya
menurut-french-dan-raven/ 
http://referensi-kepemimpinan.blogspot.com/2009/03/definisi-kepemimpinan.html


 

 

Selasa, 03 Desember 2013

Psikologi Lintas Budaya

Psikologi Lintas Budaya : Intelegensi Budaya Barat dan Timur

A. Lintas Budaya 

Lintas budaya dapat dipelajari melalui pendidikan dalam keluarga, sosialisasi nilai-nilai dalam masyarakat baik melalui pergaulan sosial maupun media, dan melalui pembelajaran multikultur, yaitu pembelajaran yang dapat menfasilitasi peserta dalam memahami materi pembelajaran tanpa adanya kendala perbedaan latar belakang kultural (Bryant dalam Mendatu, 1996) dan pemahaman akan keberagaman dan penghargaan akan perbedaan, serta bagaimana bersikap dan bertindak dalam situasi multietnik-multikultur (Matsumoto dalam Mendatu, 1996).
Berbicara budaya adalah berbicara pada ranah sosial dan sekaligus ranah individual. Pada ranah sosial karena budaya lahir ketika manusia bertemu dengan manusia lainnya dan membangun kehidupan bersama yang lebih dari sekedar pertemuan-pertemuan insidental. Dari kehidupan bersama tersebut diadakanlah aturan-aturan, nilai-nilai kebiasaan-kebiasaan hingga kadang sampai pada kepercayaan-kepercayaan transedental yang semuanya berpengaruh sekaligus menjadi kerangka perilaku dari individu-individu yang masuk dalam kehidupan bersama. Semua tata nilai, perilaku, dan kepercayaan yang dimiliki sekelompok individu itulah yang disebut budaya.
Pada ranah individual adalah budaya diawali ketika individu-individu bertemu untuk membangun kehidupan bersama dimana individu-individu tersebut memiliki keunikan masing-masing dan saling memberi pengaruh. Ketika budaya sudah terbentuk, setiap individu merupakan agen-agen budaya yang memberi keunikan, membawa perubahan, sekaligus penyebar. Individu-individu membawa budayanya pada setiap tempat dan situasi kehidupannya sekaligus mengamati dan belajar budaya lain dari individu-individu lain yang berinteraksi dengannya. Dari sini terlihat bahwa budaya sangat mempengaruhi perilaku dan pola pikir individu auau aspak konitifnya.
Budaya telah menjadi perluasan topik ilmu psikologi di mana mekanisme berpikir dan bertindak pada suatu masyarakat kemudian dipelajari dan diperbandingkan terhadap masyarakat lainnya. Psikologi budaya mencoba mempelajari bagaimana faktor budaya dan etnis mempengaruhi perilaku manusia. Di dalam kajiannya, terdapat pula paparan mengenai kepribadian individu yang dipandang sebagai hasil bentukan sistem sosial yang di dalamnya tercakup budaya. Adapun kajian lintas budaya merupakan pendekatan yang digunakan oleh ilmuan sosial dalam mengevaluasi budaya-budaya yang berbeda dalam dimensi tertentu dari kebudayaan.

B. Intelegensi 

Kecerdasan merupakan sesuatu yang dibawa manusia sejak lahir dan dibentuk dalam lingkungan seiring dengan perkembangan hidup manusia. Setiap manusia memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda-beda dari tingkat kecerdasan yang very superior sampai mental defective. 

Intelegensi atau kecerdasan berasal dari baha latin intellegentia, yang pertama kali  digunakan oleh seorang ahli pidato dari romawi yaitu Cicerio. Orang Amerika memandang intelegensi adalah sejumlah kemampuan, keahlian , talenta, dan pengetahuan  yang keseluruhannya merujuj pada kemampuan kognitif dan proses mental. 

Menurut David Wechsler, intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif.
        
Menurut Edward Lee Thorndike intelegensi adalah kemampuan dalam memberikan respon yang baik dari pandangan kebenaran atau fakta (Wilson dalam Azwar, 2004: 6)
 Menurut Alfred binet mendefinisikan intelegensi terdiri dari tiga komponen yaitu kemampuan untuk mengarahkan fikiran atau mengarahkan tindakan, kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tinadakan itu telah dilaksanakan, dan kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau melakukan autocraticism (Azwar, 2004: 5)
 David Wechsler mula-mula mengatakan bahwa intelegensi intelegensi sebagai kapasitas untuk mengerti lingkungan dan kemampuan akal budi untuk mengatasi tantangan-tantangannya. pada kesempatan yang lain ia juga mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak sacara terarah, berfikir secara rasional dan menghadapi lingkungan secara efektif (Irwanto, 2002: 166-167).
B.        Teori-Teori Kecerdasan
 Alfred Binet termasuk salah satu ahli psikologi yang pertama kali berhasil merancang semacam alat ukur yang tujuan awalnya adalah untuk memperkirakan anak-anak mana yang sukses dan gagal pada sekolah dasar di Paris.
Thorndike mengatakan bahwa formulasi dari tiga kemampuan dalam intelegensi yaitu kemampuan abstraksi, mekanik dan social adalah tiga bagian yang tidak terpisahkan secara eksklusif dan juga tidak selalu  berkolerasi satu sama lain dalam diri seseorang. Thorndike juga percaya bahwa tingkat kecerdasan seseorang bergantung pada banyaknya ikatan syaraf antara rangkaian stimulus dan respon dikarenakan penguatan yang dialami seseorang.
 Howard Gardner memperkenalkan teori kecerdasan majemuk atau Multiple Intelligences ada delapan jenis kecerdasan yaitu sebagai berikut: Kecerdasan linguistic (word smart) yaitu kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif, kecerdasan logis-matematis (number smart) yaitu kemampuan untuk mengolah angka dan atau kemahiran menggunakan logika atau akal sehat, kecerdasan spasial (picture smart) yaitu kemungkinan memvisualisasi gambar di dalam kepala seseorang atau menciptakannya dalam bentuk dua atau tiga dimensi, kecerdasan kinestetik-jasmani (body smart) yaitu kemampuan seseorang untuk mengkoordinasikan kemampuan motorik tubuhnya, kecerdasan musical (music smart) yaitu kemampuan menyanyikan sebuah lagu, mengingat melodi musik, mempunyai kepekaan irama atau sekedar menikmati musik, kecerdasan antar-pribadi (people smart) yaitu kemampuan untuk memahami dan bekerja dengan orang lain, kecerdasan intra-pribadi (self smart) yaitu kemapuan memahami diri sendiri dan mengetahuai siapa diri yang sebenarnya, kecerdasan naturalis (nature smart) yaitu kemampuan mengenali bentuk-bentuk alam sekitar kita dan mencakup kepekaan terhadap bentuk-bentuk alam yang lain.
C.        Faktor-Faktor yang mempengaruhi kecerdasan
            Menurut irwanto ada dua factor yang mempengaruhi kecerdasan, yaitu:
1.      Pengaruh factor bawaan
Faktor bawaan disebut juga factor keturunan atau factor herediter.
2.      Pengaruh factor lingkungan
Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejar lahir, tetapi ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Kecerdasan tentunya tidak lepas dari otak, dengan kata lain perkembangan organic otak akan sangat mempengaruhi tingakt intelegensi seseorang. di pihak lain, perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi, oleh karena itu ada hubungan antara pemberian makanan bergizi denganintelegensi seseorang. Pemberian makanan bergizi merupakan salah satu pengaruh lingkungan yang sangat penting.
D.                            Perbedaan budaya dalam memahami intelegensi
            Ketika kajian intelegensi dibawa  melintas budaya masalah yang pertama diketemukan ternyata bahawa tidak semua budaya dalam bahasanya memiliki kosakata yang memiliki makna yang sama dengan makna intelegensi yang selama ini dipahami oleh psikolog barat. Diyakini perbedaan pengertian intelegensi ini merupakan refleksi dari nilai-nilai budaya tersebut dalam bahasa cina intelegensi dipahami sebagai otak yang baik dan bertalenta, kemampuan yang terlingkup didalamnya adalah kemampuan meniru, berusaha, dan bertanggung jawab secara social. Komponen-komponen ini dalam psikogi barat sering diabaikan dalam kompenen intelegensi. Contoh lain adalah apa yang ada di suku baganda di Afrika timur. Mereka menggunakan kata ‘abugezi’ yang merujuk pada kemampuan mental dan social  yang menjadikan seseorang kokoh, berhati-hati, dan bersahabat.
            Djerma/ Suhnai di Afrika barat menggunakan istilah yang memikili makna yang lebih luas, lakkal yang merupakan kombinasi dari pintar, mengetahui bagaimana, dan keterampilan sosial. Pada suku Baoule di Afrika barat, terdapat kosa kata yang memiliki arti paling dekat dengan intelegensi taitu nglouele yang dipahami sebagai seseorang yang bermental tajam (waspada) sekaligus sukarela memberikan pelayanan mereka tanpa diminta (Wobeer dalam Dayakisni, 2003: 200-201).
Perbedaan pemaknaan ini menjadikan usaha pengkajian dan perbandingan intelegensi dalam kerangka lingtas budaya menjadi sangat sulit. Apa yang dikatakan sebagai kecerdasan bagi orang barat adalah kemampuan matematika namun tidak bagi orang suku lain yang mungkin menganggap kecerdasan adalah kemampuan berburu atau melakukan adaptasi social.  Kesulitan perumusan definisi kecerdasan ini juga berimplikasi pada kesulitan pengukuran intelegensi yang tepat. Sangat mungkin jika alat tes hanya cocok untuk dikatakan mengukur intelegensi pada suatu budaya tapi tidak pada budaya lain (Matsumoto, dalam Dayakisni 2003: 201).
Dengan demikian, adanya perbedaan dalam skor intelegensi diantara kelompok-kelompok budaya barangkali merupakan akibat atau hasil dari hasil:
  1. Perbedaan keyakinan tentang apa yang disebut dengan intelegensi itu, atau
  2. Ketidaktepatan pengukuran intelegensi terkait budaya.
Beberapa tes mungkin tidak mengukur motivasi, kreativitas, atau keterampilan sosial. yang mana hal ini adalah faktor-faktor yang penting dalam intelegensi menurut masyarakat cina.
Permasalahan yang kedua yang menarik perhatian para pemerhati psikologi lintas budaya adalah apakah perkembangan intelegensi manusia berlangsung dalam tahapan yang universal dalam tahapan lintas budaya. Salah satu teori yang menjelaskan perkembangna intelegensi manusia adalah teori Peageot. Berdasarkan teorinya pada observasi anak-anak swiss. Peageot mengemukakan bahwa anak-anak mengalami kemajuan kognitif melaluai empat tahapan sejak mereka bagi sampai dewasa, umumnya kajian yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan kedua di atas adalah berpandukan hasil penelitiannya pada masyarakat Eropa. Apakah teori Peageot juga dapat menjelaskan tahap perkembangan intelegensi pada anak-anak yang datang dari non Eropa adalah pertanyaan yang muncul dan merangsang Perez untuk melakukan penelitian. Penelitian Perez 1988 yang melakukan penetesan pada anak-anak di Inggris, australia, Yunani dan Pakistan, menunjukna bahwa anak-anak yang sekolah dalam masyarakat yang berbeda menampilkan mencapaian kemamupan direntang usia yang sama sampai tahap operasional konkrit. Merskipun demikai, berdasarkan studi kumparatif pada anak-anak suku Unuit di Kanada, Bau’ul di afrika dan Aranda di australia, ada variasi budaya dalam usia duimana anak-anak pada masyarakat yang berbeda mencapai tahap tertentu.
Kajian lintas budaya juga membuktikan bahwa kemampuan berfikir abstrak atau penalaran ilmiah yang diasumsikan oleha Peageot sebagai titik akhir perkembangan kognitif ternyata tidak berlaku secara universal. hal ini disebabkan perbedaan nilai dan pemberian penghargaan masyarakat pada skill dan perilaku tertentu.
      Hubungan antara intelegensi dengan kajian lintas budaya adalah bahwasanya secara umum pengertiannya sama yaitu orang yang mempunyai kemampuan yang lebih jika dibandingkan dengan orang lain akan tetapi ketika kita lihat aplikasi di lapangan pada saat  kita bersinggungan langsung dengan kebudayaan sebuah masyarakat bahwasanya kecerdasan itu bisa diartikan berbeda tergantung dari kebiasaan, adapt dan norma dari kebudayaan tersebut, misalnya di kebudayaan orang cina yang memandang seseorang yang memiliki kecerdasan adalah orang sukses dalam berbisnis namun berbeda bagi kebudayaan Barat yang menganggap kecerdasan adalah seseorang ynag mempunyai kemampuan di bidang matematika yang tinggi.
Ada berbagai hal yang berhungan dengan keberadaan faktor kognisi dalam pengaruhnya terhadap lintas budaya, antara lain:

a.         Kecerdasan Umum
Flynn membuat suatu penelitian dengan mengumpulkan data tes intelegensi dari 14 negara. Data berasal dari pendaftar tetara dan didasarkan pada tes yang dikumpulkan dalam beberapa tahun. Data diambil dari semua umur. Dari data trsebut diketahui adanya peningkatan IQ di semua Negara, dengan nilai median 15 poin (dalam 1 standar deviasi) 
pada satu generasi. Flynn percaya bahwa tes IQ bukan ukuran mutlak dalam melihat kemampian seseorang. Hasil penelitian Flynn adalah sebuah informasi tentang penelitian lintas budaya, karena dia memperlihatkan kemampuan rata-rata dalam tes IQ dan populasi 
adalah jauh dari kesetabilan dan dapat berubah secara dramastis dalam waktu yang relatuf pendek.
Pada tahun 1997 van vijver mengumpulkan dan menganalisis data dari 157 sisiwa putus sekolah dengan menggunakan jenis tes kemampuan kognitif. Pertanyaan dugunakan untuk menyelidiki hunbungan antara pendidikan dan kemampuan. Dengan menggunakan indek dasar anggaran belanja pendidkan dan GNP dari sejumlah Negara. Dia menemukan suatu hubungan positif kemakmuran suatu Negara dengan perbedaan kemampuan dari suatu kelompok budaya dan juga berapa lama suatu pendidkan dilaksanakan. Penemuan dari Van Vijver mendukung objek dasar melawan adanya inteprestasi rasial. Perbedaan kelompok sejak lahir dapat mempengaruhi suatu lingkungan, lebih lanjut kondisi yang kondusiv dalam pekembangan intelektual akan menjadi sama.
Mc. Shane dan Berry mempunyai suatu tinjauan yang cukup tajam terhadap terhadap tes kemampuan kognitif. Mereka menambahkan tentang deprivasi individu (kemiskinan, gizi yang rendah, dan kesehatan), disorganisasi budaya sebagai pendektan untuk melengkapi konsep G. jika disimpulkan beberapa hal yang memepengaruhi kemempuan kognitif seseorang bukanlah budaya yang ada pada lingkungan mereaka akan tetapi kemampuan ini dipengaruhi oleh faktor genetik, keadaan psikis, deprivasi individu dan disorganisasi budaya.

b.        Genetic Epistemologi (Faktor Keturunan)
Genetic Epistemologi adalah salah satu teori dari Jean Piaget yang isinya adalah mengatakan bahwa “adanya koherensi antara penampilan kognitif saat berbagai tugas diberikan pada seseorang”. Dalam teori selnjutnya (dalam bahasan ini) piaget menerangkan adanya 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif ;
1.        Faktor biologis, berada pada sistem saraf.
2.        Faktor keseimbangan, berkembang disebabkan adanya interaksi antara manusia dengan lingkungan
3.        Faktor sosial
4.        Faktor perpindahan budaya, termasuk didalamnya pendidikan, kebiasaan dan institusi.
Yang akan menjadi fokus utama dalam bahasan Genetik Epistemologi adalah pembagian epistemologi yang terjadi dalam lintas budaya Psikologi Piagetian. Psikologi Piagetian berkembang dari penelitian yang homogen menjadi heterogen. Penelitian lintas budaya yang 
menggunakan paradigma ekokultural membawa kesimpulan bahwa ekologi dan faktor budaya tidak mempengaruhi hubungan antar tahap tapi mempengaruhi seberapa cepat dalam mencapainya. Perkembangan kognitif berdasarkan data tidak akan sama disetiap tempat dan 
kebudayaan tertentu. Pada tahun 1987 Dasen dan Ribaupiere menyimpulkan bahwa teori 
Piagetian mempunyai keuntungan sebagai berikut:
                                1)          Struktur invarian yang diabtasi adalah independent
                                2)          Model dapat diterapkan kepada beberapa domain.
                                3)          Perilaku spontan dapat diobservasi.
                                4)          Model menghubungkan aspek struktural dan fungsional dan memperkenalkan perbedaan antara fenomena yang dapat dilihat maupun tidak.
                                5)          Ada konvergensi antar sekolah sosiohistoris dan epistemologi genetis
                                6)          Mereka menyebabkan adanya spesifikasi domain.

3.   Cara Berpikir
Dalam pendekatan kecerdasan umum dan genetik epistemologi, cara berpikir seseorang cenderung mengarah pada aspek “bagaimana” dari pada aspek “seberapa banyak” (kemempuan) dalam kehidupan kognitifnya.Kemampuan kognitif dan model-model kognitif merupakan salah satu cara bagi sebuah suku dan anggotanya membuat kesepakatan yang efektif terhadap masalahyang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini mencari pola dari aktivitas kognitif berdasarkan asumsi universal bahwa semua proses berlaku pada semua kelompok, tetapi pengembangan dan penggunaan yang berbeda akan mengarah pada pola kemampuan yang berbeda juga.
Seorang pengembang dimensi model kognitif FDI yang bernama Within menyatakan bahwa kemampuan kognitif ini tergantung pada cara yang ditempuh untuk membuktikan “pola” yang dipilih. Tetapi menjelaskan pola kuyrang begitu luas cangkupannya daripada kecerdasan umum. Membangun FDI yang dimaksud adalah memperbesar kepercayaan dari individu tersebut atau menerima lingkungan fisik atau sosial yang diberikan, melakukan pekerjaan yang bertolak belakang seperti menganalisis atau membangun.
Para pemburu dan pemetik nomaden relatif berada pada lingkungan yangkurang berstruktur kehidupan sosialnya dan lebih pada independent, begitu juga sebaliknya dengan pertanian menetap. Kemudian perbedaan jenis kelamin juga sangat berpengaruh dalam struktur sosial dan memperkuat bukti bahwa perspektif ekologi memberikan cangkupan yang sangat luas untuk 
menguji keaslian dari perbedaan-perbedaan model.

4.   Contextualized cognition (pengamatan kontekstual)
Secara garis besar Cole dan Scriber memberikan suatu metodologo dan teori tetang kontek kognisi. Teori dan metodologi tersebut diujikan untuk penghitungan kemampuan kognitif secara spesifik dalam suatu kontek budaya dengan menggunakan kontek kognisi yang di sebut sebagai Contextualized cognitionUntuk memperkuat pendekatan mereka, cole membuat suatu studi empiris dan tunjauan terhadap literatur.
Misalnya dalam budaya timur, asumsi stabilitas kepribadian sangatlah sulit diterima. Budaya timur melihat bahwa kepribadian adalah kontekstual (contextualization). Kepribadian bersifat lentur yang menyesuaikan dengan budaya dimana individu berada. Kepribadian cenderung berubah, menyesuaikan dengan konteks dan situasi.

Adapun pengaruh kognitif terhadap lintas budaya antara lain:

Locus of control
Hal paling menarik dari hubungan kognitif dengan konteks lintas budaya adalah masalah locus of control. Sebuah konsep yang dibangun oleh Rotter (1966) yang menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar kontrol diri mereka terhadap perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain serta lingkungan.
Locus of control umumnya dibedakan menjadi dua berdasarkan arahnya, yaitu internal dan eksternal. Individu dengan locus of control eksternal melihat diri mereka sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan orang lain melihat mereka. Sedangkan locus of control internal melihat independency yang besar dalam kehidupan dimana hidupnya sangat ditentukan oleh dirinya sendiri.
Sebagai contoh adalah penelitian perbandingan antara masyarakat Barat (Eropa-Amerika) dan masyarakat Timur (Asia). Orang-orang Barat cenderung melihat diri mereka dalam kaca mata personal individual sehingga seberapa besar prestasi yang mereka raih ditentukan oleh seberapa keras mereka bekerja dan seberapa tinggi tingkat kapasitas mereka. Sebaliknya, orang Asia yang locus of control kepribadiannya cenderung eksternal melihat keberhasilan mereka dipengaruhi oleh dukungan orang lain ataupun lingkungan.


Diri individual
Diri individual adalah diri yang fokus pada atribut internal yang sifatnya personal; kemampuan individual, inteligensi, sifat kepribadian dan pilihan-pilihan individual. Diri adalah terpisah dari orang lain dan lingkungan.
Budaya dengan diri individual mendesain dan mengadakan seleksi sepanjang sejarahnya untuk mendorong kemandirian sertiap anggotanya. Mereka didorong untuk membangun konsep akan diri yang terpisah dari orang lain, termasuk dalam kerangka tujuan keberhasilan yang cenderung lebih mengarah pada tujuan diri individu.
Dalam kerangka budaya ini, nilai akan kesuksesan dan perasaan akan harga diri megambil bentuk khas individualisme. Keberhasilan individu adalah berkat kerja keras dari individu tersebut. Diri individual adalah terbatas dan terpisah dari ornag lain. Informasi relevan akan diri yang paling penting adalah atribut-atribut yang diyakini stabil, konstan, personal dan insteransi dalam diri.

Kolektifitas
Budaya yang menekankan nilai diri kolektif sagat khas dengan cirri perasaan akan keterkaitan antar manusia satu sama lain, bahkan antar dirinya sebagai mikro kosmos dengan lingkungan di luar dirinya sebagai makro kosmos. Tugas utama normative pada budaya ini adalah bagaimana individu memenuhi dan memelihara keterikatannya dengan individu lain. Individu diminta untuk menyesuaikan diri dengan orang lain atau kelompok dimana mereka bergabung. Tugas normative sepanjang sejarah budaya adalah mendorong saling ketergantungansatu sama lain. Karenanya, diri (self) lebih focus pada atribut eksternal termask kebutuhan dan harapan-harapannya.
Dalam konstruk diri kolektif ini, nilai keberhasilan dan harga diri adalah apabila individu tersebut mampu memenuhi kebutuhan komunitas dan menjadi bagian penting dalam hubungan dengan komunitas. Individu focus pada status keterikatan mereka (interdependent), dan penghargaan serta tanggung jawab sosialnya. Aspek terpenting dalam pengalaman kesadaran adalah saling terhubung antar personal.
Dapat dilihat bahwa diri (self) tidak terbatas, fleksibel, dan bertempat pad konteks, serta saling overlapping antara diri dengan individu-individu lain khususnya yang dekat atau relevan. Dalam budaya diri kolektif ini, informasi mengenai diri yang terpenring adalah aspek-aspek diri dalam hubungan.

Persepsi diri
Studi yang dilakukan oleh Bond danTak-Sing (1983), dan Shwender dan Bourne (1984) menunjukkan bagaimana perbedaan konstruk diri mempengaruhi persepsi diri. Studi ini membandingkan kelompok Amerika dan kelompok Asia, subyek diminta menuliskan beberapa karakteristik yang menggambarkan diri mereka sendiri. Respon yang diberikan subyek bila dianalisa dapat dibagi ked lam dua jenis, yaitu respon abstrak atau deskripsi sifat kepribadian seperti saya seorang yang mudah bergaul, saya orang yang ulet; dan respon situasional seperti saya biasanya mudah bergaul dengan teman-teman dekat saya.
Hasil studi menunjukkan bahwa subyek Amerika cenderung memberikan respon abstrak sedangkan subyek Asia cenderung memberikan respon situasional. penemuan ini menyatakan bahwa individu dengan konstruk diri yang dependent cenderung menekankan pada atribut personal: kemampuan ataupun sifat kepribadian; sebaliknya individu dengan konstruk diri intersependent lebih cenderung melihat diri mereka dalam konteks situasional dalam hubungannya dengan orang lain.

Sosial explanation
Konsep diri juga menjadi semacam pola panduan bagi kognitif dalam melakukan interpretasi terhadap perilaku orang lain. Individu dengan diri individual, yang memiliki keyakinan bahwa setiap orang memiliki serangkaian atribut internal yang relatif stabil, akan menganggap orang lain juga memiliki hal yang sama. Hasilnya, ketika mereka melakukan pengamatan dan interpretasi terhadap perilaku orang lain, mereka berkeyakinan dan mengambil kesimpulan bahwa perilaku orang lain tersebut didasi dan didorong oleh aspek-aspek dalam atribut internalnya.
Motivasi berprestasi
Motivasi adalah faktor yang membangkitkan dan menyediakan tenaga bagi perilaku manusia dan organisme lainnya. motivasi manusia merupakan konsep yang paling banyak menarik perhatian dan diteliti dalam kajian psikologi, sekaligus paling controversial karena banyaknya definisi dan pemikiran yang dikembangkan. Teori motivasi yangn terkenal diantaranya disampaikan oleh Maslow dan Mc-Clelland.
Dalam teori motivasi Maslow, manusia memiliki hierarki kebutuhan dari kebutuhan paling dasar yaitu fisiologis hingga kebutuhan paling tinggi yaitu aktualisasi diri. Sementara menurut Mc-clelland, manusia juga dimotivasi oleh dorongan sekunder yang penuh tenaga yang tidak berbasis kebutuhan, yaitu berprestasi, berafiliasi atau menjalin hubungan, dan berkuasa.
Dalam tradisi barat, konsep diri bersifat individual, motivasi diasosiasikan sebagai sesuatu yang personal dan internal, dan kurang terkait dengan konteks sosial ataupun interpersonal. Dalam komunitas tradisi timur, konsep diri condong dilihat sebagai bagian kolektifitas, kesuksesan adalah untuk mencapai tujuan sosial yang lebih luas. Kesuksesan selalu dipandang terkait dengan kebanggaan dan kebahagiaan orang lain, terutama orang-orang terdekat.
Peningkatan diri (self enhancement)
Memelihara atau meningkatkan harga diri diasumsikan akan memiliki bentuk yang berbeda pada budaya yang cenderung interdependent. Diantara orang-orang yang datang dari budaya interdependent, penaksiran atribut internal diri mungkin tidak terkait dengan harga diri (self esteem) ataupun kepuasan diri (self satisfiaction). Sebaliknya, harga diri ataupun kepuasan diri terlihat lebih terkait dengan keberhasilan memainkan perannya dalam kelompok, memelihara harmoni, menjaga ikatan, dan saling membantu. Bagi orang-orang dri interdependent culture, melihat dirir sebagai unik atau berbeda malah akan menjadikan ketidakseimbangan psikologis diri. Mereka akan merasa terlempar dari kelompoknya dan kesepian sebagai manusia.

Perbedaan Intelegensi antara Budaya Timur dan Barat Secara Umum

Nilai budaya timur pada intinya banyak bersumber dari agama. Inti kepribadian orang timur terletak pada hatinya. Dengan hatinya mereka menyatukan akal budi, intuisi, intelegensi, dan perasaan. Pemikiran timur lebih menekankan unsur terdalam dari jiwa. Budaya timur lebih menekankan disiplin mengendalikan diri, sederhana, tidak mementingkan dunia. Sesuatu yang baik menurut budaya timur tidak terdapat hanya dalam benda (materialisme), tidak dengan manipulasi alam (eksploitasi), atau mengubah masyarakat dan mencari kesenangan dirinya (Hedonisme). Tetapi seuatu yang baik menurut timur adalah sesuatu yang diperoleh dari pencarian zat yang satu, di dalam diri kita atau luarnya. Jalan untuk memperoleh hikmah keselamatan dan kebebasan diri dari penderitaan dunia tidak terletak pada akal budi, tetapi melalui meditasi, beribadah atau tirakat. 

Sikap orang timur terhadap alam adalah menyatu dengan alam, tidak mengeksploitasi alam, bahkan menginginkan harmoni dengan alam. Sebab alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Indonesia sebagai bagian dari wilayah yang menganut kebudayaan timur harus mementingkan kerohanian, perasaan , gotong royong, dan menjaga keharmonisan antara manusia dengan alam dan manusia dengan tuhan. Unsur budaya barat hendaknya diserap secara selektif dan hati-hati. Kemajuan barat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi patut kita tiru. Adapun bentuk budaya barat berupa sikap gaya hidup mewah, individualisme, dan jauh dari kehidupan agama tidak patut untuk dicontoh.

Daftar Pustaka :

Walgito, Bimo. 2004. Psikologi Umum. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Walgito, Bimo. 1999. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Andi. 
http://fathoriknazam.blogspot.com/2010/11/budaya-barat-vs-budaya-timur.html