Psikologi Lintas Budaya : Intelegensi Budaya Barat dan Timur
A. Lintas Budaya
A. Lintas Budaya
Lintas budaya dapat dipelajari melalui pendidikan dalam keluarga, sosialisasi nilai-nilai dalam masyarakat baik melalui pergaulan sosial maupun media, dan melalui pembelajaran multikultur, yaitu pembelajaran yang dapat menfasilitasi peserta dalam memahami materi pembelajaran tanpa adanya kendala perbedaan latar belakang kultural (Bryant dalam Mendatu, 1996) dan pemahaman akan keberagaman dan penghargaan akan perbedaan, serta bagaimana bersikap dan bertindak dalam situasi multietnik-multikultur (Matsumoto dalam Mendatu, 1996).
Berbicara budaya adalah berbicara pada ranah sosial dan sekaligus ranah individual. Pada ranah sosial karena budaya lahir ketika manusia bertemu dengan manusia lainnya dan membangun kehidupan bersama yang lebih dari sekedar pertemuan-pertemuan insidental. Dari kehidupan bersama tersebut diadakanlah aturan-aturan, nilai-nilai kebiasaan-kebiasaan hingga kadang sampai pada kepercayaan-kepercayaan transedental yang semuanya berpengaruh sekaligus menjadi kerangka perilaku dari individu-individu yang masuk dalam kehidupan bersama. Semua tata nilai, perilaku, dan kepercayaan yang dimiliki sekelompok individu itulah yang disebut budaya.
Pada ranah individual adalah budaya diawali ketika individu-individu bertemu untuk membangun kehidupan bersama dimana individu-individu tersebut memiliki keunikan masing-masing dan saling memberi pengaruh. Ketika budaya sudah terbentuk, setiap individu merupakan agen-agen budaya yang memberi keunikan, membawa perubahan, sekaligus penyebar. Individu-individu membawa budayanya pada setiap tempat dan situasi kehidupannya sekaligus mengamati dan belajar budaya lain dari individu-individu lain yang berinteraksi dengannya. Dari sini terlihat bahwa budaya sangat mempengaruhi perilaku dan pola pikir individu auau aspak konitifnya.
Budaya telah menjadi perluasan topik ilmu psikologi di mana mekanisme berpikir dan bertindak pada suatu masyarakat kemudian dipelajari dan diperbandingkan terhadap masyarakat lainnya. Psikologi budaya mencoba mempelajari bagaimana faktor budaya dan etnis mempengaruhi perilaku manusia. Di dalam kajiannya, terdapat pula paparan mengenai kepribadian individu yang dipandang sebagai hasil bentukan sistem sosial yang di dalamnya tercakup budaya. Adapun kajian lintas budaya merupakan pendekatan yang digunakan oleh ilmuan sosial dalam mengevaluasi budaya-budaya yang berbeda dalam dimensi tertentu dari kebudayaan.
B. Intelegensi
Kecerdasan merupakan sesuatu yang dibawa manusia sejak lahir dan dibentuk dalam lingkungan seiring dengan perkembangan hidup manusia. Setiap manusia memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda-beda dari tingkat kecerdasan yang very superior sampai mental defective.
Intelegensi atau kecerdasan berasal dari baha latin intellegentia, yang pertama kali digunakan oleh seorang ahli pidato dari romawi yaitu Cicerio. Orang Amerika memandang intelegensi adalah sejumlah kemampuan, keahlian , talenta, dan pengetahuan yang keseluruhannya merujuj pada kemampuan kognitif dan proses mental.
Menurut David Wechsler, intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif.
Menurut Edward Lee
Thorndike intelegensi adalah kemampuan dalam memberikan respon yang baik dari
pandangan kebenaran atau fakta (Wilson
dalam Azwar, 2004: 6)
Menurut Alfred
binet mendefinisikan intelegensi terdiri dari tiga komponen yaitu kemampuan
untuk mengarahkan fikiran atau mengarahkan tindakan, kemampuan untuk mengubah
arah tindakan bila tinadakan itu telah dilaksanakan, dan kemampuan untuk
mengkritik diri sendiri atau melakukan autocraticism (Azwar, 2004: 5)
David Wechsler mula-mula
mengatakan bahwa intelegensi intelegensi sebagai kapasitas untuk mengerti
lingkungan dan kemampuan akal budi untuk mengatasi tantangan-tantangannya. pada
kesempatan yang lain ia juga mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan
untuk bertindak sacara terarah, berfikir secara rasional dan menghadapi
lingkungan secara efektif (Irwanto, 2002: 166-167).
B. Teori-Teori
Kecerdasan
Alfred Binet
termasuk salah satu ahli psikologi yang pertama kali berhasil merancang semacam
alat ukur yang tujuan awalnya adalah untuk memperkirakan anak-anak mana yang
sukses dan gagal pada sekolah dasar di Paris.
Thorndike
mengatakan bahwa formulasi dari tiga kemampuan dalam intelegensi yaitu
kemampuan abstraksi, mekanik dan social adalah tiga bagian yang tidak
terpisahkan secara eksklusif dan juga tidak selalu berkolerasi satu sama lain dalam diri
seseorang. Thorndike juga percaya bahwa tingkat kecerdasan seseorang bergantung
pada banyaknya ikatan syaraf antara rangkaian stimulus dan respon dikarenakan
penguatan yang dialami seseorang.
Howard Gardner
memperkenalkan teori kecerdasan majemuk atau Multiple Intelligences ada delapan
jenis kecerdasan yaitu sebagai berikut: Kecerdasan linguistic (word smart)
yaitu kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif, kecerdasan
logis-matematis (number smart) yaitu kemampuan untuk mengolah angka dan atau
kemahiran menggunakan logika atau akal sehat, kecerdasan spasial (picture
smart) yaitu kemungkinan memvisualisasi gambar di dalam kepala seseorang atau
menciptakannya dalam bentuk dua atau tiga dimensi, kecerdasan kinestetik-jasmani
(body smart) yaitu kemampuan seseorang untuk mengkoordinasikan kemampuan
motorik tubuhnya, kecerdasan musical (music smart) yaitu kemampuan menyanyikan
sebuah lagu, mengingat melodi musik, mempunyai kepekaan irama atau sekedar
menikmati musik, kecerdasan antar-pribadi (people smart) yaitu kemampuan untuk
memahami dan bekerja dengan orang lain, kecerdasan intra-pribadi (self smart)
yaitu kemapuan memahami diri sendiri dan mengetahuai siapa diri yang
sebenarnya, kecerdasan naturalis (nature smart) yaitu kemampuan mengenali
bentuk-bentuk alam sekitar kita dan mencakup kepekaan terhadap bentuk-bentuk
alam yang lain.
C. Faktor-Faktor yang
mempengaruhi kecerdasan
Menurut irwanto ada
dua factor yang mempengaruhi kecerdasan, yaitu:
1.
Pengaruh factor bawaan
Faktor bawaan disebut juga factor keturunan atau factor
herediter.
2.
Pengaruh factor lingkungan
Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa
sejar lahir, tetapi ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan
yang berarti. Kecerdasan tentunya tidak lepas dari otak, dengan kata lain
perkembangan organic otak akan sangat mempengaruhi tingakt intelegensi
seseorang. di pihak lain, perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang
dikonsumsi, oleh karena itu ada hubungan antara pemberian makanan bergizi
denganintelegensi seseorang. Pemberian makanan bergizi merupakan salah satu
pengaruh lingkungan yang sangat penting.
D.
Perbedaan budaya dalam memahami
intelegensi
Ketika kajian
intelegensi dibawa melintas budaya
masalah yang pertama diketemukan ternyata bahawa tidak semua budaya dalam
bahasanya memiliki kosakata yang memiliki makna yang sama dengan makna
intelegensi yang selama ini dipahami oleh psikolog barat. Diyakini perbedaan
pengertian intelegensi ini merupakan refleksi dari nilai-nilai budaya tersebut
dalam bahasa cina intelegensi dipahami sebagai otak yang baik dan bertalenta,
kemampuan yang terlingkup didalamnya adalah kemampuan meniru, berusaha, dan
bertanggung jawab secara social. Komponen-komponen ini dalam psikogi barat
sering diabaikan dalam kompenen intelegensi. Contoh lain adalah apa yang ada di
suku baganda di Afrika timur. Mereka menggunakan kata ‘abugezi’ yang merujuk
pada kemampuan mental dan social yang
menjadikan seseorang kokoh, berhati-hati, dan bersahabat.
Djerma/ Suhnai di
Afrika barat menggunakan istilah yang memikili makna yang lebih luas, lakkal
yang merupakan kombinasi dari pintar, mengetahui bagaimana, dan keterampilan
sosial. Pada suku Baoule di Afrika barat, terdapat kosa kata yang memiliki arti
paling dekat dengan intelegensi taitu nglouele yang dipahami sebagai seseorang
yang bermental tajam (waspada) sekaligus sukarela memberikan pelayanan mereka
tanpa diminta (Wobeer dalam Dayakisni, 2003: 200-201).
Perbedaan pemaknaan ini menjadikan usaha pengkajian dan
perbandingan intelegensi dalam kerangka lingtas budaya menjadi sangat sulit.
Apa yang dikatakan sebagai kecerdasan bagi orang barat adalah kemampuan
matematika namun tidak bagi orang suku lain yang mungkin menganggap kecerdasan
adalah kemampuan berburu atau melakukan adaptasi social. Kesulitan perumusan definisi kecerdasan ini
juga berimplikasi pada kesulitan pengukuran intelegensi yang tepat. Sangat
mungkin jika alat tes hanya cocok untuk dikatakan mengukur intelegensi pada
suatu budaya tapi tidak pada budaya lain (Matsumoto, dalam Dayakisni 2003:
201).
Dengan demikian, adanya perbedaan dalam skor intelegensi
diantara kelompok-kelompok budaya barangkali merupakan akibat atau hasil dari
hasil:
- Perbedaan keyakinan tentang apa yang disebut dengan intelegensi itu, atau
- Ketidaktepatan pengukuran intelegensi terkait budaya.
Beberapa tes mungkin tidak mengukur motivasi,
kreativitas, atau keterampilan sosial. yang mana hal ini adalah faktor-faktor
yang penting dalam intelegensi menurut masyarakat cina.
Permasalahan yang kedua yang menarik perhatian para
pemerhati psikologi lintas budaya adalah apakah perkembangan intelegensi
manusia berlangsung dalam tahapan yang universal dalam tahapan lintas budaya. Salah satu teori yang menjelaskan
perkembangna intelegensi manusia adalah teori Peageot. Berdasarkan teorinya
pada observasi anak-anak swiss. Peageot mengemukakan bahwa anak-anak mengalami
kemajuan kognitif melaluai empat tahapan sejak mereka bagi sampai dewasa,
umumnya kajian yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan kedua di atas adalah
berpandukan hasil penelitiannya pada masyarakat Eropa. Apakah teori Peageot
juga dapat menjelaskan tahap perkembangan intelegensi pada anak-anak yang
datang dari non Eropa adalah pertanyaan yang muncul dan merangsang Perez untuk
melakukan penelitian. Penelitian Perez 1988 yang melakukan penetesan pada
anak-anak di Inggris, australia, Yunani dan Pakistan, menunjukna bahwa
anak-anak yang sekolah dalam masyarakat yang berbeda menampilkan mencapaian
kemamupan direntang usia yang sama sampai tahap operasional konkrit. Merskipun
demikai, berdasarkan studi kumparatif pada anak-anak suku Unuit di Kanada,
Bau’ul di afrika dan Aranda di australia, ada variasi budaya dalam usia duimana
anak-anak pada masyarakat yang berbeda mencapai tahap tertentu.
Kajian lintas budaya
juga membuktikan bahwa kemampuan berfikir abstrak atau penalaran ilmiah yang
diasumsikan oleha Peageot sebagai titik akhir perkembangan kognitif ternyata
tidak berlaku secara universal. hal ini disebabkan perbedaan nilai dan
pemberian penghargaan masyarakat pada skill dan perilaku tertentu.
Hubungan antara
intelegensi dengan kajian lintas budaya adalah bahwasanya secara umum pengertiannya
sama yaitu orang yang mempunyai kemampuan yang lebih jika dibandingkan dengan
orang lain akan tetapi ketika kita lihat aplikasi di lapangan pada saat kita bersinggungan langsung dengan kebudayaan
sebuah masyarakat bahwasanya kecerdasan itu bisa diartikan berbeda tergantung
dari kebiasaan, adapt dan norma dari kebudayaan tersebut, misalnya di
kebudayaan orang cina yang memandang seseorang yang memiliki kecerdasan adalah
orang sukses dalam berbisnis namun berbeda bagi kebudayaan Barat yang
menganggap kecerdasan adalah seseorang ynag mempunyai kemampuan di bidang
matematika yang tinggi.
Ada berbagai hal yang berhungan dengan keberadaan faktor kognisi dalam pengaruhnya terhadap lintas budaya, antara lain:
a. Kecerdasan Umum
Flynn membuat suatu penelitian dengan mengumpulkan data tes intelegensi dari 14 negara. Data berasal dari pendaftar tetara dan didasarkan pada tes yang dikumpulkan dalam beberapa tahun. Data diambil dari semua umur. Dari data trsebut diketahui adanya peningkatan IQ di semua Negara, dengan nilai median 15 poin (dalam 1 standar deviasi)
pada satu generasi. Flynn percaya bahwa tes IQ bukan ukuran mutlak dalam melihat kemampian seseorang. Hasil penelitian Flynn adalah sebuah informasi tentang penelitian lintas budaya, karena dia memperlihatkan kemampuan rata-rata dalam tes IQ dan populasi
adalah jauh dari kesetabilan dan dapat berubah secara dramastis dalam waktu yang relatuf pendek.
Pada tahun 1997 van vijver mengumpulkan dan menganalisis data dari 157 sisiwa putus sekolah dengan menggunakan jenis tes kemampuan kognitif. Pertanyaan dugunakan untuk menyelidiki hunbungan antara pendidikan dan kemampuan. Dengan menggunakan indek dasar anggaran belanja pendidkan dan GNP dari sejumlah Negara. Dia menemukan suatu hubungan positif kemakmuran suatu Negara dengan perbedaan kemampuan dari suatu kelompok budaya dan juga berapa lama suatu pendidkan dilaksanakan. Penemuan dari Van Vijver mendukung objek dasar melawan adanya inteprestasi rasial. Perbedaan kelompok sejak lahir dapat mempengaruhi suatu lingkungan, lebih lanjut kondisi yang kondusiv dalam pekembangan intelektual akan menjadi sama.
Mc. Shane dan Berry mempunyai suatu tinjauan yang cukup tajam terhadap terhadap tes kemampuan kognitif. Mereka menambahkan tentang deprivasi individu (kemiskinan, gizi yang rendah, dan kesehatan), disorganisasi budaya sebagai pendektan untuk melengkapi konsep G. jika disimpulkan beberapa hal yang memepengaruhi kemempuan kognitif seseorang bukanlah budaya yang ada pada lingkungan mereaka akan tetapi kemampuan ini dipengaruhi oleh faktor genetik, keadaan psikis, deprivasi individu dan disorganisasi budaya.
b. Genetic Epistemologi (Faktor Keturunan)
Genetic Epistemologi adalah salah satu teori dari Jean Piaget yang isinya adalah mengatakan bahwa “adanya koherensi antara penampilan kognitif saat berbagai tugas diberikan pada seseorang”. Dalam teori selnjutnya (dalam bahasan ini) piaget menerangkan adanya 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif ;
1. Faktor biologis, berada pada sistem saraf.
2. Faktor keseimbangan, berkembang disebabkan adanya interaksi antara manusia dengan lingkungan
3. Faktor sosial
4. Faktor perpindahan budaya, termasuk didalamnya pendidikan, kebiasaan dan institusi.
Yang akan menjadi fokus utama dalam bahasan Genetik Epistemologi adalah pembagian epistemologi yang terjadi dalam lintas budaya Psikologi Piagetian. Psikologi Piagetian berkembang dari penelitian yang homogen menjadi heterogen. Penelitian lintas budaya yang
menggunakan paradigma ekokultural membawa kesimpulan bahwa ekologi dan faktor budaya tidak mempengaruhi hubungan antar tahap tapi mempengaruhi seberapa cepat dalam mencapainya. Perkembangan kognitif berdasarkan data tidak akan sama disetiap tempat dan
kebudayaan tertentu. Pada tahun 1987 Dasen dan Ribaupiere menyimpulkan bahwa teori
Piagetian mempunyai keuntungan sebagai berikut:
1) Struktur invarian yang diabtasi adalah independent
2) Model dapat diterapkan kepada beberapa domain.
3) Perilaku spontan dapat diobservasi.
4) Model menghubungkan aspek struktural dan fungsional dan memperkenalkan perbedaan antara fenomena yang dapat dilihat maupun tidak.
5) Ada konvergensi antar sekolah sosiohistoris dan epistemologi genetis
6) Mereka menyebabkan adanya spesifikasi domain.
3. Cara Berpikir
Dalam pendekatan kecerdasan umum dan genetik epistemologi, cara berpikir seseorang cenderung mengarah pada aspek “bagaimana” dari pada aspek “seberapa banyak” (kemempuan) dalam kehidupan kognitifnya.Kemampuan kognitif dan model-model kognitif merupakan salah satu cara bagi sebuah suku dan anggotanya membuat kesepakatan yang efektif terhadap masalahyang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini mencari pola dari aktivitas kognitif berdasarkan asumsi universal bahwa semua proses berlaku pada semua kelompok, tetapi pengembangan dan penggunaan yang berbeda akan mengarah pada pola kemampuan yang berbeda juga.
Seorang pengembang dimensi model kognitif FDI yang bernama Within menyatakan bahwa kemampuan kognitif ini tergantung pada cara yang ditempuh untuk membuktikan “pola” yang dipilih. Tetapi menjelaskan pola kuyrang begitu luas cangkupannya daripada kecerdasan umum. Membangun FDI yang dimaksud adalah memperbesar kepercayaan dari individu tersebut atau menerima lingkungan fisik atau sosial yang diberikan, melakukan pekerjaan yang bertolak belakang seperti menganalisis atau membangun.
Para pemburu dan pemetik nomaden relatif berada pada lingkungan yangkurang berstruktur kehidupan sosialnya dan lebih pada independent, begitu juga sebaliknya dengan pertanian menetap. Kemudian perbedaan jenis kelamin juga sangat berpengaruh dalam struktur sosial dan memperkuat bukti bahwa perspektif ekologi memberikan cangkupan yang sangat luas untuk
menguji keaslian dari perbedaan-perbedaan model.
4. Contextualized cognition (pengamatan kontekstual)
Secara garis besar Cole dan Scriber memberikan suatu metodologo dan teori tetang kontek kognisi. Teori dan metodologi tersebut diujikan untuk penghitungan kemampuan kognitif secara spesifik dalam suatu kontek budaya dengan menggunakan kontek kognisi yang di sebut sebagai Contextualized cognition. Untuk memperkuat pendekatan mereka, cole membuat suatu studi empiris dan tunjauan terhadap literatur.
Misalnya dalam budaya timur, asumsi stabilitas kepribadian sangatlah sulit diterima. Budaya timur melihat bahwa kepribadian adalah kontekstual (contextualization). Kepribadian bersifat lentur yang menyesuaikan dengan budaya dimana individu berada. Kepribadian cenderung berubah, menyesuaikan dengan konteks dan situasi.
Adapun pengaruh kognitif terhadap lintas budaya antara lain:
Locus of control
Hal paling menarik dari hubungan kognitif dengan konteks lintas budaya adalah masalah locus of control. Sebuah konsep yang dibangun oleh Rotter (1966) yang menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar kontrol diri mereka terhadap perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain serta lingkungan.
Locus of control umumnya dibedakan menjadi dua berdasarkan arahnya, yaitu internal dan eksternal. Individu dengan locus of control eksternal melihat diri mereka sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan orang lain melihat mereka. Sedangkan locus of control internal melihat independency yang besar dalam kehidupan dimana hidupnya sangat ditentukan oleh dirinya sendiri.
Sebagai contoh adalah penelitian perbandingan antara masyarakat Barat (Eropa-Amerika) dan masyarakat Timur (Asia). Orang-orang Barat cenderung melihat diri mereka dalam kaca mata personal individual sehingga seberapa besar prestasi yang mereka raih ditentukan oleh seberapa keras mereka bekerja dan seberapa tinggi tingkat kapasitas mereka. Sebaliknya, orang Asia yang locus of control kepribadiannya cenderung eksternal melihat keberhasilan mereka dipengaruhi oleh dukungan orang lain ataupun lingkungan.
Diri individual
Diri individual adalah diri yang fokus pada atribut internal yang sifatnya personal; kemampuan individual, inteligensi, sifat kepribadian dan pilihan-pilihan individual. Diri adalah terpisah dari orang lain dan lingkungan.
Budaya dengan diri individual mendesain dan mengadakan seleksi sepanjang sejarahnya untuk mendorong kemandirian sertiap anggotanya. Mereka didorong untuk membangun konsep akan diri yang terpisah dari orang lain, termasuk dalam kerangka tujuan keberhasilan yang cenderung lebih mengarah pada tujuan diri individu.
Dalam kerangka budaya ini, nilai akan kesuksesan dan perasaan akan harga diri megambil bentuk khas individualisme. Keberhasilan individu adalah berkat kerja keras dari individu tersebut. Diri individual adalah terbatas dan terpisah dari ornag lain. Informasi relevan akan diri yang paling penting adalah atribut-atribut yang diyakini stabil, konstan, personal dan insteransi dalam diri.
Kolektifitas
Budaya yang menekankan nilai diri kolektif sagat khas dengan cirri perasaan akan keterkaitan antar manusia satu sama lain, bahkan antar dirinya sebagai mikro kosmos dengan lingkungan di luar dirinya sebagai makro kosmos. Tugas utama normative pada budaya ini adalah bagaimana individu memenuhi dan memelihara keterikatannya dengan individu lain. Individu diminta untuk menyesuaikan diri dengan orang lain atau kelompok dimana mereka bergabung. Tugas normative sepanjang sejarah budaya adalah mendorong saling ketergantungansatu sama lain. Karenanya, diri (self) lebih focus pada atribut eksternal termask kebutuhan dan harapan-harapannya.
Dalam konstruk diri kolektif ini, nilai keberhasilan dan harga diri adalah apabila individu tersebut mampu memenuhi kebutuhan komunitas dan menjadi bagian penting dalam hubungan dengan komunitas. Individu focus pada status keterikatan mereka (interdependent), dan penghargaan serta tanggung jawab sosialnya. Aspek terpenting dalam pengalaman kesadaran adalah saling terhubung antar personal.
Dapat dilihat bahwa diri (self) tidak terbatas, fleksibel, dan bertempat pad konteks, serta saling overlapping antara diri dengan individu-individu lain khususnya yang dekat atau relevan. Dalam budaya diri kolektif ini, informasi mengenai diri yang terpenring adalah aspek-aspek diri dalam hubungan.
Persepsi diri
Studi yang dilakukan oleh Bond danTak-Sing (1983), dan Shwender dan Bourne (1984) menunjukkan bagaimana perbedaan konstruk diri mempengaruhi persepsi diri. Studi ini membandingkan kelompok Amerika dan kelompok Asia, subyek diminta menuliskan beberapa karakteristik yang menggambarkan diri mereka sendiri. Respon yang diberikan subyek bila dianalisa dapat dibagi ked lam dua jenis, yaitu respon abstrak atau deskripsi sifat kepribadian seperti saya seorang yang mudah bergaul, saya orang yang ulet; dan respon situasional seperti saya biasanya mudah bergaul dengan teman-teman dekat saya.
Hasil studi menunjukkan bahwa subyek Amerika cenderung memberikan respon abstrak sedangkan subyek Asia cenderung memberikan respon situasional. penemuan ini menyatakan bahwa individu dengan konstruk diri yang dependent cenderung menekankan pada atribut personal: kemampuan ataupun sifat kepribadian; sebaliknya individu dengan konstruk diri intersependent lebih cenderung melihat diri mereka dalam konteks situasional dalam hubungannya dengan orang lain.
Sosial explanation
Konsep diri juga menjadi semacam pola panduan bagi kognitif dalam melakukan interpretasi terhadap perilaku orang lain. Individu dengan diri individual, yang memiliki keyakinan bahwa setiap orang memiliki serangkaian atribut internal yang relatif stabil, akan menganggap orang lain juga memiliki hal yang sama. Hasilnya, ketika mereka melakukan pengamatan dan interpretasi terhadap perilaku orang lain, mereka berkeyakinan dan mengambil kesimpulan bahwa perilaku orang lain tersebut didasi dan didorong oleh aspek-aspek dalam atribut internalnya.
Motivasi berprestasi
Motivasi adalah faktor yang membangkitkan dan menyediakan tenaga bagi perilaku manusia dan organisme lainnya. motivasi manusia merupakan konsep yang paling banyak menarik perhatian dan diteliti dalam kajian psikologi, sekaligus paling controversial karena banyaknya definisi dan pemikiran yang dikembangkan. Teori motivasi yangn terkenal diantaranya disampaikan oleh Maslow dan Mc-Clelland.
Dalam teori motivasi Maslow, manusia memiliki hierarki kebutuhan dari kebutuhan paling dasar yaitu fisiologis hingga kebutuhan paling tinggi yaitu aktualisasi diri. Sementara menurut Mc-clelland, manusia juga dimotivasi oleh dorongan sekunder yang penuh tenaga yang tidak berbasis kebutuhan, yaitu berprestasi, berafiliasi atau menjalin hubungan, dan berkuasa.
Dalam tradisi barat, konsep diri bersifat individual, motivasi diasosiasikan sebagai sesuatu yang personal dan internal, dan kurang terkait dengan konteks sosial ataupun interpersonal. Dalam komunitas tradisi timur, konsep diri condong dilihat sebagai bagian kolektifitas, kesuksesan adalah untuk mencapai tujuan sosial yang lebih luas. Kesuksesan selalu dipandang terkait dengan kebanggaan dan kebahagiaan orang lain, terutama orang-orang terdekat.
Peningkatan diri (self enhancement)
Memelihara atau meningkatkan harga diri diasumsikan akan memiliki bentuk yang berbeda pada budaya yang cenderung interdependent. Diantara orang-orang yang datang dari budaya interdependent, penaksiran atribut internal diri mungkin tidak terkait dengan harga diri (self esteem) ataupun kepuasan diri (self satisfiaction). Sebaliknya, harga diri ataupun kepuasan diri terlihat lebih terkait dengan keberhasilan memainkan perannya dalam kelompok, memelihara harmoni, menjaga ikatan, dan saling membantu. Bagi orang-orang dri interdependent culture, melihat dirir sebagai unik atau berbeda malah akan menjadikan ketidakseimbangan psikologis diri. Mereka akan merasa terlempar dari kelompoknya dan kesepian sebagai manusia.
Perbedaan Intelegensi antara Budaya Timur dan Barat Secara Umum
Nilai budaya timur pada intinya banyak bersumber dari agama. Inti kepribadian orang timur terletak pada hatinya. Dengan hatinya mereka menyatukan akal budi, intuisi, intelegensi, dan perasaan. Pemikiran timur lebih menekankan unsur terdalam dari jiwa. Budaya timur lebih menekankan disiplin mengendalikan diri, sederhana, tidak mementingkan dunia. Sesuatu yang baik menurut budaya timur tidak terdapat hanya dalam benda (materialisme), tidak dengan manipulasi alam (eksploitasi), atau mengubah masyarakat dan mencari kesenangan dirinya (Hedonisme). Tetapi seuatu yang baik menurut timur adalah sesuatu yang diperoleh dari pencarian zat yang satu, di dalam diri kita atau luarnya. Jalan untuk memperoleh hikmah keselamatan dan kebebasan diri dari penderitaan dunia tidak terletak pada akal budi, tetapi melalui meditasi, beribadah atau tirakat.
Sikap orang timur terhadap alam adalah menyatu dengan alam, tidak mengeksploitasi alam, bahkan menginginkan harmoni dengan alam. Sebab alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Indonesia sebagai bagian dari wilayah yang menganut kebudayaan timur harus mementingkan kerohanian, perasaan , gotong royong, dan menjaga keharmonisan antara manusia dengan alam dan manusia dengan tuhan. Unsur budaya barat hendaknya diserap secara selektif dan hati-hati. Kemajuan barat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi patut kita tiru. Adapun bentuk budaya barat berupa sikap gaya hidup mewah, individualisme, dan jauh dari kehidupan agama tidak patut untuk dicontoh.
Daftar Pustaka :
Walgito, Bimo. 2004. Psikologi Umum. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Walgito, Bimo. 1999. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Andi.
http://fathoriknazam.blogspot.com/2010/11/budaya-barat-vs-budaya-timur.html
Perbedaan Intelegensi antara Budaya Timur dan Barat Secara Umum
Nilai budaya timur pada intinya banyak bersumber dari agama. Inti kepribadian orang timur terletak pada hatinya. Dengan hatinya mereka menyatukan akal budi, intuisi, intelegensi, dan perasaan. Pemikiran timur lebih menekankan unsur terdalam dari jiwa. Budaya timur lebih menekankan disiplin mengendalikan diri, sederhana, tidak mementingkan dunia. Sesuatu yang baik menurut budaya timur tidak terdapat hanya dalam benda (materialisme), tidak dengan manipulasi alam (eksploitasi), atau mengubah masyarakat dan mencari kesenangan dirinya (Hedonisme). Tetapi seuatu yang baik menurut timur adalah sesuatu yang diperoleh dari pencarian zat yang satu, di dalam diri kita atau luarnya. Jalan untuk memperoleh hikmah keselamatan dan kebebasan diri dari penderitaan dunia tidak terletak pada akal budi, tetapi melalui meditasi, beribadah atau tirakat.
Sikap orang timur terhadap alam adalah menyatu dengan alam, tidak mengeksploitasi alam, bahkan menginginkan harmoni dengan alam. Sebab alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Indonesia sebagai bagian dari wilayah yang menganut kebudayaan timur harus mementingkan kerohanian, perasaan , gotong royong, dan menjaga keharmonisan antara manusia dengan alam dan manusia dengan tuhan. Unsur budaya barat hendaknya diserap secara selektif dan hati-hati. Kemajuan barat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi patut kita tiru. Adapun bentuk budaya barat berupa sikap gaya hidup mewah, individualisme, dan jauh dari kehidupan agama tidak patut untuk dicontoh.
Daftar Pustaka :
Walgito, Bimo. 2004. Psikologi Umum. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Walgito, Bimo. 1999. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Andi.
http://fathoriknazam.blogspot.com/2010/11/budaya-barat-vs-budaya-timur.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar