Rabu, 29 Mei 2013

Cinta dan Perkawinan - tulisan 3

Cinta dan Perkawinan

   Perkawinan atau dalam arti pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, budaya agama, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula. 

   Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda-tangani. Upacara pernikahan sendiri biasanya merupakan acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat istiadat yang berlaku, dan kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga Wanita dan pria yang sedang melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya selesai upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan. 

   Cinta adalah sebuah emosi dan kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi. Dalam konteks filosofi cinta merupakan sifat yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang. Pendapat lainnya, cinta adalah aksi atau kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh dan mau melakukan apapun yang diinginkan oleh objek tersebut. (http://id.wikipedia.org/wiki/Cinta)

   Menurut Sternberg (dalam Sternberg & Bernes, 1988), cinta bukanlah suatu kesatuan yang tunggal melainkan gabungan dari berbagai perasaan, hasrat, dan pikiran yang terjadi secara bersamaan sehingga menghasilkan perasaan global yang dinamakan cinta. 

a. Bagaimana memilih pasangan ?

Memilih calon pendamping hidup tidaklah mudah, dan agama Islam memberikan beberapa petunjuk di antaranya:

Dalam memilih calon istri
- Hendaknya calon istri memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak baik karena wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

Dari Abu Hurairah ra. dan Nabi Muhammad  saw, bersabda : "Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan yang beragama niscaya kamu bahagia" (Muttafaqun 'Alaihi)

- Hendaklah calon istri itu penyayang dan banyak anak.

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda :
dari Amas bin Malik, Rasullullah SAW bersabda ".....kawinilah perempuan penyayang dan banyak anak...." HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban.

-Hendaknya memilih calon istri yang masih gadis terutama bagi pemuda yang belum pernah nikah.

Hal ini dimaksudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan manfaat yang agung, diantara manfaat tersebut adalah memelihara keluarga dan hal-hal yang akan menyusahkan kehidupannya, menjerumuskan ke dalam berbagai perselisihan, dan menyebarkan polusi kesulitan dan permusuhan. Pada waktu yang sama akan mengeratkan tali cinta kasih suami istri. Sebab gadis itu akan memberikan sepenuhnya kehalusan dan kelembutannya kepada lelaki yang pertama kali melindungi, menemui, dan mengenalinya. Lain halnya dengan janda, kadangkala dari suami yang kedua ia tidak mendapatkan kelembutan hati yang sesungguhnya karena adanya perbedaan yang besar antara akhlak suami yang pertama dan kedua. 

- Mengutamakan orang jauh (dari kekerabatan) dalam perkawinan.

Hal ini dimaksudkan untuk keselamatan fisik anak keturunan dari penyakit-penyakit yang menular atau cacat secara hereditas. Sehingga anak tidak tumbuh besar dalam keadaan lemah atau mewarisi cacat kedua orang tuanya dan penyakit-penyakit nenek moyangnya. Disamping itu juga untuk memperluas pertalian kekeluargaan dan memererat ikatan-ikatan sosial. 

Memilikih calon suami :

-Islam 

Ini adalah kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih calon suami sebab dengan islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia dan akhirat kelak.

-Berilmu dan baik akhlaknya

Masa depan kehidupan suami istri erat kaitannya dengan memilih suami, maka islam memberi anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan taat beragama. 

Kesimpulan nya, menurut saya pribadi, memilih pasangan haruslah :
1 satu keyakinan, dengan kesamaan keyakinan maka pasangan tidak akan ragu untuk melangkah dan menentukkan tujuan hidup yang lebih nyata .
2. Sehat secara rohani dan jasmani, secara rohani pasangan yang akan kita pilih haruslah sehat dalam arti melakukan semua perintah sesuai agamanya dan menjauhi larangan dari agamanya. Serta Sehat dalam Jasmani maksudnya adalah kesehatan pasangan akan sangat mempengaruhi kehidupan berkeluarga nanti kedepannya. Pasangan yang sehat, maka dapat menghasilkan keturunan yang baik secara Jasmani dan Rohani sehat pula. 
3. Berkelakuan yang bisa diterima keluarga dan orang-orang disekitar. Termasuk mencintai dua belah pihak keluarga, mau berteman dengan teman masing-masing pasangan, dan berkelakuan baik sesuai dengan aturan yang ada. 

b. Seluk Beluk Hubungan dalam Perkawinan

   Dalam kehidupan berkeluarga, semua pasangan mendambakan keluarga yang harmonis selamanya hingga akhir hayat. Namun mengapa ada saja percekcokan dan amarah?

   Dalam membina keluarga, setiap objek yang berpasangan adalah objek yang sama-sama belajar. Belajar dalam arti belajar menjadi dewasa, menjadi arif, menjadi bijaksana, menjadi paham. Dewasa dalam hubungan adalah saling mengerti, saling percaya, daling mendorong, saling membangun satu sama lain, Jika pasangan dalam keadaan kesulitan, sebagai pasangan kita harus turut memberi semangat bukannya amarah. Menjadi arif dan bijaksana dalam mengambil keputusan juga sangat diperlukan dalam hubungan suami istri. Mereka yang menjadi istri, harus patuh pada suami. Tapi bukan berarti suami menjadi semena-mena dalam mengatur istri. Suami harus arif dan bijak dalam hal kasih sayang,  membentuk norma-norma dalam keluarga, mengatur keuangan istri, memperhatikan kesehatan istri dan mau terus mendampingi dalam keadaan susah, senang,  miskin, kaya, sehat dan sakit. Semua yang dirundingkan dan disepakati bersama akan lebih menyenangkan dibandingkan dengan adu kekuatan pikiran yang hanya menimbulkan kemarahan dan percekcokan. 

c. Penyesuaian dan Pertumbuhan dalam perkawinan

   Perkawinan tidak berarti mengikat pasangan sepenuhnya. Dua individu ini harus dapat mengembangkan diri untuk kemajuan bersama. Keberhasilan dalam perkawinan tidak diukur dari ketergantungan pasangan. Perkawinan merupakan salah satu tahapan dalam hidup yang pasti diwarnai oleh perubahan. Dan perubahan yang terjadi dalam sebuah perkawinan, sering tak sederhana. Perubahan yang terjadi dalam perkawinan banyak terkait dengan terbentuknya relasi baru sebagai satu kesatuan serta terbentuknya hubungan antarkeluarga kedua pihak.
Relasi yang diharapkan dalam sebuah perkawinan tentu saja relasi yang erat dan hangat. Tapi karena adanya perbedaan kebiasaan atau persepsi antara suami-istri, selalu ada hal-hal yang dapat menimbulkan konflik. Dalam kondisi perkawinan seperti ini, tentu sulit mendapatkan sebuah keluarga yang harmonis.
Pada dasarnya, diperlukan penyesuaian diri dalam sebuah perkawinan, yang mencakup perubahan diri sendiri dan perubahan lingkungan. Bila hanya mengharap pihak pasangan yang berubah, berarti kita belum melakukan penyesuaian.
    Banyak yang bilang pertengkaran adalah bumbu dalam sebuah hubungan. Bahkan bisa menguatkan ikatan cinta. Hanya, tak semua pasangan mampu mengelola dengan baik sehingga kemarahan akan terakumulasi dan berpotensi merusak hubungan.
 
d. Perceraian dan Pernikahan Kembali 
 
Perceraian dalam tinjauan sosiologis adalah sebuah kajian yang membahas seluk beluk perceraian dari sudut pandang sosial kemasyarakatan (sosiologis). Secara sosiologis dalam teori pertukaran, perkawinan digambarkan sebagai pertukaran antara hak dan kewajiban serta penghargaan dan kehilangan yang terjadi antara suami dan istri (Karim dalam Ihromi, 1999). Sebuah perkawinan membutuhkan kesepakatan-kesepakatan bersama dalam mendukung proses pertukaran tersebut. Jika terdapat suatu ketidakseimbangan dalam proses pertukaran yang berarti adanya salah satu pihak yang diuntungkan dan dirugikan, serta akhirnya tidak mempunyai kesepakatan yang memuaskan ke dua belah pihak.
Perceraian merupakan terputusnya hubungan antara suami istri, yang dalam hal ini adalah cerai hidup yang disebabkan oleh kegagalan suami atau istri dalam menjalankan obligasi peran masing-masing. Dimana perceraian dipahami sebagai akhir dari ketidakstabilan perkawinan antara suami istri yang selanjutnya hidup secara terpisah dan diakui secara sah berdasarkan hukum yang berlaku.
Hubungan suami-istri juga dapat dilihat dan dibedakan berdasarkan pola perkawinan yang ada dalam masyarakat. Scanzoni dan Scanzoni (1981) mengkatagorikannya ke dalam empat bentuk pola perkawinan yaitu owner property, head complement, senior junior partner dan equal partner. Kestabilan keluarga tampak lebih kondusif berlangsung dalam pola perkawinan kedua dan ke tiga dimana posisi istri mulai berkembang menjadi pelengkap suami dan teman yang saling membantu dalam mengatur kehidupan bersama. Sementara itu hal sebaliknya dapat terjadi pada pola perkawinan equal partner.
Pengakuan hak persamaan kedudukan dengan pria menyebabkan semakin tidak tergantungnya istri pada suami. Istri mendapat dukungan dan pengakuan dari orang lain karena kemampuannya sendiri dan tidak dikaitkan dengan suami. Di antara ke empat pola ini menjelaskan tingkat perceraian cenderung lebih tinggi pada pola perkawinan owner properti. Oleh karena pola perkawinan owner property berasumsi bahwa istri adalah milik suami, seperti halnya barang-barang berharga lainnya di dalam keluarga itu yang merupakan miliki dan tanggung jawab suami. Istri sangat tergantung secara sosial ekonomi kepada suami. Akibat dari pola perkawinan seperti ini suami berhak menceraikan istrinya apabila tidak merasakan mendapat kepuasaan yang diinginkan ataupun tidak menyukai istrinya lagi.
Seperti yang terungkap dalam penelitian Fachrina (2006) mengenai Pandangan Masyarakat mengenai Perceraian (studi kasus cerai gugat pada masyarakat perkotaan), dimana masyarakat masih memposisikan pihak istri sebagai pihak yang bersalah apabila terjadi perceraian. Dalam hal ini istri dianggap menjadi penyebab perceraian. Mengapa pasangan ini bercerai, lebih cenderung dicermati sebagai akibat dari berbagai kekurangan dari pihak istri. Masyarakat masih menerima persepsi bahwa istri yang baik, menjadi idaman adalah istri yang mematuhi perintah suami dan mengurusi rumah tangga, serta merawat anak-anak, melayani dan menyiapkan keperluan suami.
Perubahan tingkat perceraian dan faktor penyebabnya, merupakan indikasi terjadinya perubahan sosial lainnya dalam masyarakat. Sistem sosial sedang bergerak cepat atau lambat ke arah suatu bentuk sistem keluarga konjugal dan juga ke arah industrialisasi. Perubahan sistem keluarga menyesuaikan diri pada kebutuhan industrialisasi. Dengan industrialisasi keluarga tradisional (sistem keluarga yang diperluas atau gabungan) sedang mengalami kehancuran, dimana keluarga konjugal (keluarga inti) cocok dengan kebutuhan industrialisasi (Goode, 2007)
Sanak saudara baik secara hubungan karena perkawinan ataupun karena hubungan darah secara relatif tidak diikut sertakan dalam pengambilan keputusan sehari-hari dalam keluarga konjugal. Setiap orang mempunyai kebebasan dan menentukan calon pasangan hidupnya sendiri dan selanjutnya pasangan suami istri lebih banyak berbuat terhadap kehidupan keluarga masing-masing. Keluarga luas tidak lagi menyangga pasangan suami istri, dan tidak banyak menerima bantuan dari kerabat, begitu juga sebaliknya. Keluarga luas lebih dapat bertahan daripada keluarga kecil yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Oleh karena itu angka perceraian dalam sistem keluarga konjugal cenderung tinggi (Goode, 2007).
Dalam perkembangan sekarang ini dapat dikatakan bahwa masyarakat tidak memandang perceraian sebagai hal yang tabu, artinya perbuatan ini bukan sesuatu yang memalukan dan harus dihindari. Di sini Goode berpendapat bahwa penilaian atau pandangan yang menganggap perceraian sebagai suatu pernyataan kegagalan adalah bias. Sistem perkawinan adalah berasal dari perbedaan-perbedaan kepentingan, keinginan, kebutuhan,dan nafsu, serta dari latar belakang sosial budaya dan ekonomi yang juga berbeda. Ketegangan-ketegangan dan ketidakbahagian adalah lazim ada pada setiap perkawinan. Akhirnya pada tingkat tertentu masyarakat dapat memberikan toleransi umum dan memahami bahwa perceraian adalah merupakan salah satu langkah yang harus ditempuh bagi penyelesaian akhir dari perselisihan suami istri.
 Pernikahan kembali adalah menikah setelah bercerai dengan pasangan sebelumnya secara sah di mata negara dan agama. Menikah kembali bukanlah suatu hal yang mudah karena apapun kenangan bersama pasangan sebelumnya yang mungkin pernah menyakitinya pasti akan terkenang. Dan membangun kepercayaan dengan pasangan baru mungkin akan lebih sulit karena cerai berarti memiliki masa lalu yang dulu pernah jadi bagian dari hidup seorang yang bercerai. Namun tak sedikit juga yang menganggap enteng suatu perceraian dan hubungan baru, biasanya adalah orang yang menyepelekan sehingga keluarga nya kerap hancur. Maka dalam setiap keluarga perlu adanya pengakuan dan rasa di hormati.
 e.  Single Life

Lajang bukanlah suatu aib atau kejelekan. Buktinya banyak pengusaha muda yang sukses di usia muda dan belum memiliki pasangan. Mereka yang melajang lebih banyak dibutuhkan posisinya dalam suatu perusahaan karena mereka yang melajang lebih berkonsentrasi dan berpenampilan baik. Mengapa? karena mereka tidak memikirkan mereka harus masak apa hari ini untuk pasangannya? besok memberi kejutan apa? besok kencan di mana? dan kapan waktu untuk memanjakan diri sendiri itu kapan?

Terkadang seseorang yang sedang menjalani kehidupan sendiri lebih fokus dalam meraih tujuan yang sebenar-benarnya. Arus modernisasi dan gender membuat para perempuan Indonesia dapat menempati posisi yang setara bahkan melebihi pria. Bahkan sekarang banyak perempuan yang mempunyai penghasilan lebih besar dari pria. Ditambah dengan konsep pilihan melajang, terutama kota-kota besar, mendorong perempuan Indonesia untuk hidup sendiri.



Daftar Pustaka:

lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20295591-S...pdf
http://hendriyana.abatasa.co.id/post/detail/20976/tips-oke-memilih-pasangan-hidup-menurut-islam.html http://nikahdancinta.blogspot.com/
http://natasha-ardelia-fpsi12.web.unair.ac.id/artikel_detail-62390-Umum-Hubungan%20Interpersonal,%20Kuliah%20Psikologi%20Umum.html
http://undangankipas.blogdetik.com/2013/01/05/tips-memilih-pasangan-hidup-bagi-yang-serius-ingin-menikah/
repository.usu.ac.id/bitstream/.../3/Chapter%20II.pdf
http://kritikuscinta.blogspot.com/2008/05/konseling-perkawinan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar